Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.
Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung
Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.
Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.
Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah kerajaan Mataram dari tahun (1611-1645) M.
Awal mula pembangunan komplek pemakaman giriloyo bermula ketika Sultan Agung, menunaikan salat jumat di kota Makkah, Arab Saudi. Tak sengaja beliau menemukan tanah yang berbau wangi.
"Sultan tertarik dengan tanah itu dan menginginkan jika kelak meninggal, ia dan keluarganya berharap bisa dimakamkan di tanah wangi itu," tutur Ilham, saat berbincang dengan penulis.
Karena hasrat tersebut, Sultan kemudian matur (bicara) kepada penguasa Makkah yang kala itu di perintah oleh Abdul Syafii. Pembicaraan kedua raja itu mengenai keinginan Sultan Agung untuk membangun makam di tanah Makkah.
Namun, permintaan Sultan untuk dimakamkan di Makkah ternyata tidak dikabulkan oleh Abdul Syafii dengan alasan Sultan dan kerabatnya bukan keturunan bangsa Arab.
Kenyataan itu membuat hati Sultan gundah. Ia lantas mengambil satu kerikil (batu) dari tanah tersebut dan pulang mengadu kepada gurunya, Sunan Kalijaga.
Mendapatkan aduan dari sang murid, Sunan Kalijaga kemudian memberi wejangan (nasihat) dan memberikan solusi kepada Sultan Agung.
"Oleh Sunan Kalijaga, kerikil yang dibawa oleh Sultan Agung itu kemudian dilempar jauh. Atas nasihat dari sang guru, Sultan Agung diminta untuk mencari lokasi jatuhnya batu tersebut," terangnya.
Lokasi dimana kerikil tersebut jatuh, rencananya, ditempat itu pula Sultan Agung atas petunjuk dari Sunan Kalijaga hendak membangun pemakamam untuk dirinya dan keluarga.
Cukup lama Sultan berkelana untuk mencari batu tersebut, namun tak kunjung didapatkan. Pada suatu ketika, ia kemudian memutuskan untuk mencari wisik(petunjuk) dengan bertapa di Gunung Mbengkung, sekarang letak pertapaan itu ada di daerah Wukirsari-Mangunan.
"Lama bertapa belum dapat petunjuk. Sultan akhirnya salat hajat, namun ditempat itu ternyata tandus, tidak ada air untuk berwudhu. Sultan kemudian menancapkan tongkatnya pada sebuah batu, dan konon atas kuasa Tuhan, batu tersebut menyembuhkan mata air. Air itu sekarang bisa menghidupi masyarakat sekitar. Termasuk air yang ada di masjid (giriloyo) ini dialirkan dari sana," tutur Ilham.
Usai menjalankan salat hajat (minta petunjuk). Sultan kemudian diberi isyarat untuk bergeser ke arah barat yakni dari gunung Mbengkung menuju bukit Kabul.
Benar saja, ketika tiba dibukit Kabul Sultan Agung menemukan sinar yang teramat terang. Ketika ditelusuri, sinar tersebut memancar keluar dari sebuah batu yang telah di lempar oleh gurunya, Sunan Kalijaga.
Namun, kala itu, sudah ada seseorang yang tengah bersemedi menunggui batu tersebut. Orang itu adalah Pangeran Juminah, paman dari Sultan Agung.
Mengetahui Sultan Agung hendak membangun makam di Bukit Kabul ini. Pangeran Juminah, penunggu batu itu kemudian meminta izin, untuk bisa dimakamkan di Bukit tersebut.
"Permintaan itu dikabulkan. Sultan berkata 'Jika paman memang menginginkan dimakamkan ditempat ini, saya ijinkan. Ucapan Sultan itu adalah sabda pandhito ratu. Konon, saat itu juga Pangeran Juminah wafat dan dimakamkan di Bukit ini," tutur Ilham, sembari memperagakan perkataan Sultan.
Bukit tempat Pangeran Juminah ini dimakamkan lambat laun kemudian berganti nama menjadi Giriloyo.
"Giri bermakna Gunung, loyo atau layu berarti mati. Giriloyo, gunung sebagai tempat peristirahatan orang-orang mati," jelasnya.
Selain Pangeran Juminah, beberapa tokoh - tokoh yang dimakamkan di komplek pemakaman ini, antara lain, Ibu Sultan Agung, Kanjeng Ratu Mas Hadi, dan istri Amangkurat 1, Ratu Pembayun.
Menariknya, selain trah Mataram, di komplek makam ini juga terdapat makam dari trah Kasunanan Cirebon yakni panembahan giriloyo atau Syekh Abdul Karim atau Sultan Cirebon V.
Kuat dugaan, dari literasi yang di keluarkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta yang ditemukan oleh penulis di tangga menuju area makam, penempatan makam sultan cirebon V dikomplek makam giriloyo ini disebabkan masalah politik.
Konon, pada masa hidupnya, Sultan Cirebon V, pada tahun 1650 berperang melawan banten (perang paregreg) dan mengalami suatu kekalahan. Sehingga Sunan Amangkurat 1 sebagai penguasa mataram dan juga mertua Sultan Cirebon V, sangat kecewa.
Sebagai hukuman atas kekalahan itu, Sultan Cirebon V dimakamkan jauh dari kampung halamannya, yakni di komplek pemakaman Giriloyo.
Untuk mencapai komplek makam Giriloyo ini, para peziarah harus melewati tiga tingkat anak tangga berundak yang cukup tinggi.
Tingkat pertama dari area jalan kampung menuju masjid, berjumlah sekitar 32 anak tangga. Ditingkat ini peziarah bisa menemukan keberadake masjid Agung Giriloyo.
Dari area masjid menuju tengah pemakaman, peziarah menaiki anak tangga lagi sekitar 82 tingkatan. Dan untuk menuju puncak makam harus naik sekira 72 anak tangga lagi.
Masjid Agung Giriloyo.
Seusai Sultan Agung membangun komplek pemakaman Giriloyo, sebagai penghormatan dan syiar islam di daerah ini, maka ditempat itu pula dibangunlah sebuah masjid bernama masjid Agung Giriloyo.
Pembangunan masjid ini ditandai dengan sengkalan pada prasasti berbunyi kar(e)ti rupaning giri tunggal. Tepatnya tanggal 22 Rabiul Awal tahun Jumakir yang diperkirakan jatuh tanggal 1 Ferbuari 1788 masehi.
Pada saat itu yang bertahta di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Sultan Hamengkubuwono I. Beliau memerintah antara tahun 1715 -1792 Masehi.
Selayaknya masjid Kagungan Dalem Keraton pada umumnya, bangunan utama masjid ini berbentuk tajug atau beratap tumpang.
Pembangunan masjid Agung Giriloyo tidak lain adalah untuk penyebaran agama islam. Masjid yang diperkirakan berusia 249 tahun ini masih berdiri kokoh.
Pada bangunan depan masjid terdapat kolam ikan. Kolam ini diperuntukan untuk mencuci kaki, berwudhu dan menghilangkan kotoran ketika hendak memasuki area masjid.
Beberapa bagian masjid ini masih orisinil, asli sejak kali pertama dibangun. Empat tiang saka utama terbuat dari kayu jati. Terlihat kokoh.
"Semua bangunan masjid ini masih asli. Renovasi dan perubahan hanya dibagian atap. Pertama dibangun, atap masjid ini masih menggunakan kayu. Kemudian, oleh KH Marzuki, dulu pada tahun 1977 diganti menjadi genteng," terang Ilham.
"Renovasi juga menyasar pada lantai. Dulu lantainya masih bata putih, sekarang sudah diganti tegel hijau tua," imbuhnya.
Bangunan tajug pada ruang utama masjid ini berukuran sekira 10 x 10 meter persegi. Pada ruangan ini terdapat tiga pintu dan empat jendela dengan dinding yang terbuat dari batu bata yang diplester.
Didalam bangunan utama ini juga terdapat bedug, mimbar khotbah dan beberapa keranda jenazah yang disimpan di samping bangunan masjid.
"Dulunya memang ada barang-barang sejarah, seperti corong buat adzan dan prasasti yang menceritakan sejarah berdirinya. Namun sejak gempa tahun 2006 silam. Prasasti dan barang-barang sejarah itu entah kemana," ujar Ilham.
Disebelah selatan pada bagian ruang utama masjid terdapat ruang pawestren berukuran sekira 3 x 8 meter yang biasa digunakan untuk jamaah perempuan.
Seperti pada umumnya masjid yang lain. Masjid Agung Giriloyo juga dilengkapi dengan serambi yang biasa digunakan untuk berkumpul dan beristirahat.
Serambi pada masjid ini berukuran 10 x 14 meter persegi. Masih asli sejak kali pertama dibangun.
Menengok pada bagian mustaka. Masjid yang berada di kaki bukit Giriloyo ini memiliki bentuk mustaka mirip masjid pathok negara. Mustaka berbentuk seperti gada (senjata pemukul) yang tegak keatas. Lambang ini identik dengan ketauhidan.
Selain gada, sebagai penghias ada juga buah nanas dan kembang kluweh yang menadakan karunia dan kemurahan dari Tuhan.
Didepan serambi dan kolam ikan masjid, saat ini telah didirikan sebuah bangunan tambahan, berupa bangsal.
"Bangsal ini berukuran 6 x16 meter persegi. Sengaja dibangun, karena jamaah semakin banyak, membludak. Tidak muat, maka dibangun Bangsal untuk tempat jamaah," ujar Takmir masjid Giriloyo, H. Wahyono.
Lelaki yang juga merupakan kepala Dukuh ini mengungkapkan, saat bulan Ramadan masjid Agung Giriloyo selalu ramai jamaah.
Seperti semarak Ramadan pada masjid-masjid lain, Masjid ini juga menggelar berbagai pengajian untuk menambah khazanah keislaman. Pengajian rutin yang selalu dilakukan diantaranya pengajian setelah salat subuh dan menjelang waktu berbuka.
"Kalau sore, ada juga pengajian anak-anak dan orang tua, takjilan. Malam hari, kita menggelar salat tarawih berjamaah, tadarus, dan khataman Alquran biasanya pada 27 Ramadan," ujar H Wahyono.
Lokasinya yang terletak di bawah kaki bukit membuat suasana di masjid ini begitu tenang. Tak ayal, pada sepuluh hari sebelum hari raya, Masjid Giriloyo menjadi magnet bagi para pemburu berkah.
"Pada 10 hari terakhir, utamanya pada tanggal-tanggal ganjil, Masjid ini jadi tempat buat i'tikaf, (ibadah berdiam diri didalam masjid semalaman). Mereka yang i'tikaf datang dari berbagai daerah, sengaja ingin menghabiskan malam di masjid ini," ungkapnya.
Sultan Agung Kecewa
Kembali ke pemakaman Giriloyo. Seperti diketahui, jazad pertama yang dimakamkan di komplek pemakaman Giriloyo adalah jazad Pangeran Juminah. Syahdan, hal ini membuat Sultan Agung merasa kecewa. Mengingat pemakaman Giriloyo sejatinya diperuntukan untuk dirinya dan keluarganya.
Diungkapkan lagi oleh Abdi Dalem Keraton Yogyakarta, Muhammad Ilham, atas kecewa hatinya itu, untuk kedua kalinya Sultan Agung kemudian menemui gurunya, Sunan Kalijaga. Kepadanya, beliau mengadu ingin memiliki sebuah komplek makam sendiri sebagai wujud dari kebesaran sang raja.
Mendapati kegundahan muridnya, Sunan Kalijaga kemudian mengambil sebuah tanah. Konon, tanah itu ketika digenggam oleh sang Sunan tiba-tiba berbau sangat wangi.
Tanah wangi itu kemudian dilemparkan jauh. Atas petunjuk dari sang Sunan, Sultan Agung diperintahkan untuk mencari tempat jatuhnya tanah tersebut.
"Untuk kedua kalinya, Sultan Agung kemudian berkelana mencari tanah wangi itu," tutur Ilham.
Pada masa pencarian yang kedua, Sultan Agung kembali berdiam diri dan melakukan salat hajat di Bukit Mbengkung. Konon, ditempat ini pula, Sultan Agung mendapatkan petunjuk.
"Petunjuknya berupa seekor burung Merak. Oleh Sultan, burung itu kemudian diikuti. Sampai disebuah bukit yang berkabut, Merak itu kemudian bertengger pada sebuah batang pohon yang dibawanya terdapat tanah wangi," ungkap Ilham.
Karena bukit tempat tanah wangi itu jatuh memiliki banyak kabut, oleh Sultan Agung kemudian dinamakan Himogiri. Himo berarti Kabut, sedangkan Giri bermakna gunung/bukit.
"Oleh masyarakat kemudian disebut Imogiri. Bukit yang berkabut," jelas Ilham.
Tak jadi di Giriloyo. Di Bukit berkabut itulah akhirnya Sultan Agung kemudian membangun tempat peristirahatan terakhir bagi dirinya dan keluarga Raja Mataram.
Sampai saat ini dikenal dengan makam Raja-raja Mataram. Konon, tanah wangi dari genggangam Sunan Kalijaga itu masih berada di tengah-tengah Makam Imogiri.
"Tanah itu terlindungi di tengah area makam dan masih semerbak bau wangi sampai sekarang," ucap Ilham.
Itulah sebabnya antara masjid dan komplek pemakaman Giriloyo sangat erat kaitannya dengan masjid Pajimatan dan pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri.
Penulis
Ahmad Syarifudin
Rakyat pada umumnya yang suka minum ngopi ditemani telo goreng.
Bisa disapa melalui syariefachmad53@gmail.com
*Artikel ini pernah di Tribun Jogja dalam edisi masjid Bersejarah pada , 1 Juni 2018.
Komentar
Posting Komentar