Langsung ke konten utama

Membawa Luka


foto:putianggraini.wordpress.com

            Keraguan saat memasuki kota gudeg itu tiba-tiba muncul, saat langkah kakiku pertama kali  menapaki peron stasiun Tugu, ada kegamangan dalam batinku yang melonjak-lonjak hingga menghadirkan keraguan. Kutimang-timang kadar kekalutan tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang dikiri dan kananku. Aku putuskan diam sejenak. Beberapa detik berlalu, akhirnya kulangkahkan kaki lagi. Kumantapkan tekad dalam tiap jengkal kaki yang berpacu dengan waktu.

Yogyakarta sudah banyak berbenah, kenanganku mengulur ke masa lalu, dimana pertama kali aku menginjakan kaki dikota budaya ini, masih teringat saat lelaki itu menyambutku dibalik pintu keluar  stasiun Tugu dengan senyum keteduhan. Ia memeluk erat tubuh kucelku yang seharian belum mandi dan banyak terbalut debu kereta. Lelaki itu begitu sabar menunggu kedatanganku dari ibu kota. Sikapnya yang sabar, dan tatapan matanya yang teduh, itulah alasan yang membuatku jatuh hati padanya.

Hari ini, Aku datang lagi ke Yogyakarta, aku putuskan untuk menemuinya. Sengaja aku tak memberitahu dia sebelumnya, karena hari ini, aku ingin menuntaskan segala persoalan yang membuat batinku merasa tersiksa-dosa. Sambil menjinjing tas bawaan, aku percepat langkah kakiku menyusuri area selasar stasiun, keluar pintu pagar dan berjalan ke arah barisan taksi yang berjejer rapi di luar.

Segera aku naik taksi dan menyuruh si pengemudi taksi  mengantarku ke hotel yang sudah kupesan sebelumnya, aku rebahkan tubuhku pada kekalutan, kegamangan masih menyelimuti persendianku, kulirik arloji dipergelangan tangan kiriku, pukul 06.03 “masih ada waktu satu jam untuk berkemas diri” batinku.

Tepat pukul 07.00 aku sudah selesai membersihkan diri, sesaat aku pandangi dengan seksama tubuhku dicermin. Muncul siluet keraguan yang menghinggapiku lagi untuk yang kesekian kali. Aku tatap lekat sorot mataku mencoba meneguhkan keyakinan, Kugerak-gerakan bibirku, mencari senyuman terbaik untuk nanti kupersembahkan kepadanya saat bertemu. Kupoles lipgloss warna natural di bibirku untuk menancapkan keteguhan pendirian. Tepat 07.10 Aku melangkah meninggalkan hotel.

Tiba di sudut gang kecil, udara masih terasa dingin.  Suasana Jogja lengang. Persis diujung gang, ada sebongkah bangunan tua berlantai dua, disitulah Arif tinggal.Ia adalah mahasiswa semester tua di salah satu perguruan tinggi negeri. Aku langsung naik ke lantai dua di kamar yang paling ujung. 

Aku masih ingat persis aroma tembok dari debu yang menyengat, serta kenangan-kenangan bersamanya yang tiba-tiba mendesak keluar dari ingatanku. Tepat di depan pintu kamar kayu yang dipenuhi berbagai sticker perjuangan, ku hentikan langkahku. Kutata lagi hatiku yang tak menentu.
 Kulihat lelaki itu masih terjaga dalam peraduannya sesaat ketika aku mulai memberanikan membuka pintu kamarnya.
“Ternyata kau masih seperti Arif yang dulu, belajar keras sampai larut malam, membuat tugas dan membuat tulisan-tulisan menggugah yang kerap kau kirimkan sebagai tambahan uang sakumu ke berbagai media massa,” gumamku.
 Buku-buku masih tersebar disudut kamar, layar laptop pun  masih menyala. Secangkir kopi yang telah dingin dan beberapa putung rokok juga berserakan.
Aku matikan laptop dan mulai membereskan buku-buku itu, sebelum akhirnya dia terbangun karena terpapar sinar matahari yang menyorot saat jendela kamar kubuka.

 “Selamat pagi ucapku seketika dengan bibir tersungging renyah”. Dia tak membalas salam pagiku, rupanya dia masih bingung dengan keadaan ini, atau barangkali kesadaran masih belum penuh memenuhi rongga-rongga di otaknya.  Ku lihat dia hanya tersenyum kecil, seakan terasa pahit dan getir, tapi senyum itu, kuakui  pernah membuatku semalaman tak bisa tidur karena membayangkan raut wajahnya. Dia adalah lelaki yang memang berkarisma dan tenang, tapi tetap berwibawa dengan karakter yang kuat, teguh juga dalam pendirian.

“Lelaki seperti Arif sulit untuk jatuh hati, tetapi ketika dia sudah jatuh cinta, maka beruntunglah wanita yang bisa mendapatkan cintanya, karena dia adalah tipe lelaki yang cenderung setia”. Aku tersenyum membayangkan perkataan mbak Irma sepupuku, saat ku perkenalkan Arif padanya. Mbak Irma kebetulan kuliah juga di Jogja, aku biasa merepotkan dia ketika kebetulan main-main ke Jogja.  Aku melanjutkan menata kamar  Arif yang berantakan. Arif lalu bangkit, beranjak dan membersihkan diri.

######

Dia datang membawa nampan yang berisi dua cangkir teh dan beberapa potong roti. Saat aku sudah selesai membereskan kamarnya, dia menghidangkan nampan dihadapanku. Arif mengambilkan cangkir berisi teh hanget untukku dan mengajakku menikmati sepotong roti. Suasana pagi dan kehangatan sikapnya, selalu membuatku jatuh hati untuk yang kesekian kalinya. Seperti biasa, aku hanya memandangi cara dia menikamti roti dan menatap rona mukanya. Bagiku, ini sudah mampu membuatku bahagia.
 “Kamu tidak makan, Ndhuk’’? tanyanya membuyarkan lamunanku
            “Tidak, aku masih kenyang” jawabku seketika.
             “Kamu sekarang agak gendutan, Ndhuk!, wajahmu juga pucat, ada apa?” susulnya kemudian yang buatku sedikit tertegun.
     “Ya Tuhan, jangan-jangan dia sudah tahu yang sudah terjadi sebenarnya?” batinku mulai tak menentu.

Arif lelaki yang baik, hampir 4 tahun kita menjalin hubungan, tapi kita bertemu hanya dua kali dalam setahun. Karena kita memang menjalin hubungan dari dua kota yang berbeda, aku kuliah di Ibu kota, sementara Arif di Jogjakarta, dua kota yang terpaut jarak yang lumayan jauh. Itu alasan kita jarang sekali bertemu, kadang sehabis ujian semester Arif berkunjung ke Jakarta, begitu juga saat momen pergantian semester berikutnya gantian aku yang berusaha mendatanginya.

Oiya, namaku Nisa’, mahasiswi disalah satu perguruan swasta di Jakarta. Aku mulai kenal dekat sama Arif saat pentas seni perpisahan SMA dulu, saat itu kita dipertemukan dalam satu pertunjukan seni peran yang sama. Saat pertunjukan drama aku melakoni peran sebagai seorang pembantu permaisuri, sedang Arif menjadi pangeran tampan yang diperebutkan banyak perempuan. Sampai pada ending cerita, Arif memilih saya untuk mendampingi hidupnya. Aku tidak tahu pasti kenapa dia memilih aku, dalam skenario seharusnya dia memilih yang lain, tapi diakhir cerita dia merubah skenario awal, hingga kami sempat bingung dibuatnya, tetapi pada akhirnya semua penonton berdecak kagum dengan pertunjukan yang menyalahi aturan itu. Semua hadirin mengungkapkan pujian akting kami.

Selepas pertunjukan itu, kita makin dekat dan Arif benar-benar menyatakan cintanya dalam dunia nyata, tanpa drama!
“Heh, malah ngelamun?” sambar Arif seketika..
‘Tidak, tidak apa-apa!,” Jawabku sekenanya.Aku tersenyum malu saat aku melihat dia sudah hampir selesaikan potongan roti terakhirnya.
“Sekarang kau sudah pintar berbohong”!! lanjut dia kemudian, sambil mengelus rambut diatas kepalaku.
“Ya Tuhan,” beberapa kali aku tersentak, kehangatan sikap, dan pembawaanya yang teduh itu, membuatku tak sanggup untuk berkata jujur kepadanya. Ingin sekali aku berterus terang, ingin rasanya kutuntaskan semuanya hari ini, toh, lambat laun Arif juga bakal tahu, lebih baik dia tahu dari mulutku bukan dari orang lain, tetapi lidahku  kelu dan tak sanggup mengucapkan sepatah katapun juga. Kutatap matanya, lalu aku menunduk dalam kebingungan.

    Dia mengelus pipiku, hatiku berdebar tak menentu, tersimpan seribu tanya, mungkinkah dia sudah tahu yang sebenarnya?

     “Aku mengenalmu sudah lama Ndhuk, sudah hampir khatam aku membaca kepribadian dan kebiasaan-kebiasaanmu, tak seperti biasanya kau hari ini,” lanjutnya dengan suara yang tenang.
“Tidak apa-apa, mungkin karena capek, perjalanan terakhirku ini, kurasakan tidak nyaman” jawabku dengan senyuman tipis.

“Atau barangkali ada Arif lain diluar sana yang menunggu kepulanganmu Ndhuk?”
Seperi tersengat listrik, aku tertegun, kata-kata itu merontokan seluruh persendianku. Aku mengangkat mukaku, menatapnya dalam-dalam..
“Bunuh aku jika ada Arif yang lain diluar sana!” Kata-kataku meyakinkan.

Dia tersenyum, dan berdiri membawa nampan berisi cangkir kosong dan beberapa sisa bungkus roti, berlalu disampingku sambil berkata “Aku tak akan sejahat itu membunuhmu Ndhuk!”

Aku hanya bisa pandangi punggung lelaki itu, pergi melewati lorong, langkahnya yang tenang, dan cara berjalan yang tak pernah bisa aku lupa, rasanya aku jatuh cinta lagi untuk kesekian kali padanya. Sementara masih berkecamuk dalam pikiranku, apa makna kata-kata terakhirnya.

Ya tuhan, kenapa aku sebodoh ini, aku mencela diriku sendiri. Aku menatap tubuhku dicermin, harus ku tuntaskan hari ini, tapi aku tidak sanggup melihat perih luka darinya, Tuhan.!! aku benar-benar mencintai dia, bolehkah seorang istri mencintai suami yang lain? Batinku memelas.

Ya, aku memang sudah menjadi istri dari orang lain, ceritanya berawal saat aku semester tujuh, ketika itu aku dekat dengan mas Anto, mahasiswa satu fakultas denganku, dulu, aku hanya iseng dengan dia, sekedar untuk mengisi kekosonganku, karena Arif jauh di Jogja, berjalannya waktu mas Anto makin deket, dan pada akhirnya aku terjebak dalam permainan cintanya mas Anto, Aku Hamil.! Dan kesempatan itu digunakan mas Anto untuk menikahiku, dia terus terang kepada Bapakku dan Bapak marah, memaksaku untuk menikah dengannya.

#############

“Bagaimana kuliahmu Ndhuk? Tanya Arif setelah muncul dan duduk disampingku.
Aku tak langsung menjawab, aku tatap matanya, lelaki ini begitu perhatian, andai tuhan mengizinkan, ingin sekali ku peluk erat tubuhnya.
            “Baik, tingal nunggu sidang, mungkin beberapa bulan lagi, aku bisa memakai toga”, jawabku dengan senyuman, sedikit meledek dia yang masih diganggu skripsi.
Aku lihat dia tersenyum, senyum itu!, senyum yang paling menawan yang pernah aku lihat dari seorang laki-laki.
Ah, syukurlah!! tumben tidak kasih kabar sebelumnya kalau mau berkunjung ke Jogja, kan aku bisa jemput di stasiun.
“Nanti malah merepotkan, lagian aku mau ngasih surprise sama kamu”  suka sekali aku menggoda dia. Aku senang melihat ekspresi wajahnya.
Oh gitu, sekarang suka ngasih kejutan ya.! sampai kapan di Jogja?
Ya, begitulah,!! besok aku langsung balik ke Jakarta, tidak bisa lama-lama di Jogja. Lusa ada sidang skripsi. Jawabku dengan mimik berharap dia tak kecewa.
“Hari ini mau kemana”? Tanyanya kemudian
“Aku mau ketempatnya mbak Irma, kangen banget aku. Jawabku dengan tenangnya, oh, god! Sejak kapan aku mulai pandai berbohong..
            “Tumben, Ada keperluan pentingkah dengan mbak Irma”? Tanya Arif kemudian
“Ladies Only” jawabku sambil tersenyum, raut wajahnya nampak bingung, entahlah!, tapi aku suka menggoda dirinya, apalagi saat dia terlihat bingung, Aku menyukainya!
Oh yaudah! Jawab Arif kemudian, seperti ada satu sikap pasrah, Aku jadi kasian melihatnya..
Dan akhirnya tibalah waktunya, aku harus memberanikan diri untuk jujur padanya saat ini juga.akumembatin!
dan Arif nampaknya membaca sikapku yang sedikit terlihat resah, “Kamu kenapa Ndhuk?
“aku tidak apa-apa”, jawabku, oh tuhan! Aku mengutuk diriku sendiri yang tidak sanggup berterus terang padanya.
“Aku mau ke tempatnya Mbak Irma”  kata itu yang akhirnya terlontar keluar dari mulutku. Sungguh! Tak sanggup aku membuat luka dihatinya, biarlah ini menjadi beban-dosakukepadanya.

Tiba-tiba Arif mendekatiku, sesaat ketika aku mulai berdiri, dia memelukku erat dan berbisik pelan ditelingaku, “cepatlah pulang, tidak baik terlalu capek untuk perempuan yang sedang hamil muda, sampaikan salamku untuk suamimu Ndhuk!, Oh Gusti!!seperti rontok semua tulangku!, saat itu aku merasa sangat berdosa padanya, aku menangis dalam pelukannya!!
Akhirnya dia melepaskan pelukanya dan mengusap air mataku, “Aku sudah tau semuanya Ndhuk,! aku dikasih tau sama mbak Irma, kalau beberapa bulan yang lalu kamu menikah dengan mas Anto, biarlah! Kisah tentang kita sudahi sampai disini, aku tidak mau menjadi perusak rumah tangga orang, cukup aku yang terluka dengan semua ini.!  kata-katanya begitu tenang.
Sungguh! Kalau boleh jujur, aku juga sangat terluka, ingin rasanya sekali lagi aku peluk erat tubuhnya, tapi dia menahanku dan mengantarkan sampai di depan gang untuk akhirnya aku pulang dengan membawa luka darinya. Sekian!









Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Pusat Syiar Islam dan Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda

Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.  Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda  M atahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.  Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.  Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman....

Masjid Agung Giriloyo, Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung

Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.  Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung  Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.  Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.  Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo d ibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah ke...