Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.
Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda
Matahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.
Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.
Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman.
"Pendirian masjid ini sebagai penghormatan dari pihak Keraton kepada Kyai Syihabuddin atas jasa beliau terhadap Sri Sultan Hamengkubuwono I, ketika konflik dengan Raden Mas Said," tutur R. Burhanudin yang juga merupakan keturunan ketujuh dari Sultan HB II dan cicit dari Kyai Syihabuddin.
Raden Mas Said sendiri sebenarnya merupakan menantu dari Sultan HB I. Konflik antara keduanya terjadi ketika Raden Mas Said yang berjuluk Pangeran Sambernyawa oleh Belanda naik tahta menjadi Pangeran Merdiko yang artinya bebas merdeka dengan gelar RGPAA Mangkunegaran I. Peristiwa ini terjadi antara tahun 1757-1758 M.
Perihal kenaikan tahta menantunya itu, Sultan HB I merasa gundah, dan berambisi kuat untuk mengalahkan di medan laga, tetapi tanpa harus merasa membunuhnya.
"Karepe Sultan menang tan ngasorake. Keinginan Sultan mengalahkan (pangeran sambernyawa) tetapi tidak membunuhnya," jelasnya.
Sultan HB I kemudian bersemedi untuk mencari petunjuk atas gundah gulana hatinya. Dari semedi yang dilakukan di Sumolangu, Kebumen, Sultan mendapat wisik (bisikan gaib) diperintahkan untuk mencari jago wiring kuning putih dari daerah Banyumas.
Wisik itu ditelusuri dan yang dimaksud dari petunjuk itu ternyata adalah Kyai Syihabuddin, seorang alim ulama yang kala itu tinggal dan menetap di selatan Keraton, tepatnya sisi timur Sungai Winongo.
"Dimintai tolong oleh Sultan. Kyai Syihabudin mengajukan dua syarat. Pertama, jika tugas berhasil, beliau minta diangkat menjadi Patih kerajaan. Dan syarat kedua, menghadapi pangeran sambernyawa beliau meminta dipinjamkan pusaka tombak Kanjeng Kyai Hageng dari Pleret," terangnya.
Oleh Sultan HB I, kedua syarat itu disanggupi. Terjadilah adu kesaktian antara Kyai Syihabuddin dengan Pangeran Sambernyawa (Mangkunegaran I). Konon, dalam pertarungan tersebut, ketika pangeran Sambernyawa menusukan senjatanya ke kulit Kyai Syihabuddin. Senjata itu mendadak tumpul dan tak mempan. Hal ini karena Kyai Syihabuddin memiliki khadam, terkenal sakti mandraguna.
"Kemudian ketika giliran Kyai Syihabuddin mau menusukan senjatanya ke Pangeran Sambernyawa, beliau justru berkata, "Kau pergi sajalah, mertuamu tidak ingin kau terluka, lebih-lebih gugur dalam pertarungan kita ini," ucap Burhanudin, menirukan percakapan keduanya.
Usai mengalahkan Pangeran Sambernyawa, Kyai Syihabuddin menagih janji Sultan HB I untuk mengangkat dirinya menjadi Patih. Namun, janji hanyalah tinggal janji, jabatan itu tak pernah ditepati. Karena jabatan Patih sudah diisi oleh Tumenggung Yudanegara, Bupati Banyumas, yang kemudian bergelar Patih Danureja I.
Dalam Pisowanan Agung (pertemuan besar), Sultan HB I melihat ada kinjeng dom (capung kecil) yang berputar-putar diudara. Sultan HB I menangkap ini sebagai tanda, Kyai Syihabuddin tidak usah diangkat menjadi Patih, tetapi sebagian gantinya diangkat menjadi Penghulu Keraton yang ke-1.
Mendapati haknya sebagai Patih tidak dipenuhi, Kyai Syihabuddin merasa dongkol (kecewa). Ia kemudian dikenal sebagai Kyai Dongkol (Kyai yang kecewa). Karena pergeseran ucapan, sebutan kyai Dongkol berubah menjadi Kyai Dongkel. Tempat dimana Kyai Dongkel ini menetap kemudian dikenal menjadi kampung Dongkelan.
"Kyai Syihabuddin menjabat sebagai penghulu Keraton ke- 1 hanya sebentar. Sebagai ungkapan kekecewaan, beliau selalu menabuh bedug sebelum waktunya tiba. Misalkan sholat duhur jam 12. Jam 10 beliau sudah nabuh Bedug, kecewa," terangnya.
Setelah tak lagi menjabat sebagai penghulu Keraton, karena kemasyhuran ilmu agamanya, Kyai Syihabuddin oleh Sultan HB I kemudian diangkat menjadi pejabat Pathok Negara dan dibuatkan masjid di wilayah Dongkelan. Yang kemudian hari dikenal menjadi Masjid Pathok Negara Dongkelan.
"Kalau di zaman sekarang, Pejabat Pathok Negara itu seperti pejabat Pengadilan Agama. Dulu bekerjanya di pengadilan surambi atau dikenal sebagai Al Mahkamah Al Kabiroh, pengadilan yang ada di serambi masjid," ungkapnya.
Masjid Pathok Negara berdiri diatas tanah seluas 1000 meter persegi. Model bangunan utama berbentuk tajug selebar 10 x 10 meter. Bangun tajug ini mempertemukan empat titik mata penjuru angin menuju kepada satu titik keatas. Memiliki 7 pintu dan 9 jendela.
"Bangunan tajuk itu mengerucut keatas. Artinya menuju kepada Tuhan yang esa. Sementara 7 pintu itu artinya pithuduh (petunjuk) yang dibawa 9 walisongo," terang R. Burhanuddin.
Di depan bangunan utama, terdapat bangunan serambi masjid berlantai tegel kuning, seluas 7 x 14 meter. Posisi bangunan serambi ini lebih rendah dari bangunan utama.
Ada juga ruang pawestri yang berada di sebelah kanan dan kiri ruang utama. Masing masing berukuran 2.5 x 10 meter persegi. Selayaknya masjid-masjid lain, Masjid Pathok Negara Dongkelan ini juga dilengkapi dengan tempat wudhu. Lokasinya berada di sisi utara bangunan utama masjid.
Istimewanya, Masjid ini berbeda dengan masjid lainnya, tidak memiliki kubah diatasnya. Pada bagian tempat kubah diganti menjadi mustaka, berbentuk gada (senjata pemukulan pemungkas) yang terbuat dari plat besi. Dibagian bawahnya terdapat daun kluweh dan bunga gambir mekar.
"Gada itu simbol alif (huruf hijaiyyah), artinya jejeg, tanda ketauhidan. Daun kluweh itu linuwih, kenikmatan Tuhan yang luas tak terbatas. Sedangkan Bunga Gambir itu bermakna rahmat, mekar, agama islam menyebar sebagai Rahmatan lil alamin," terangnya.
Dibakar Belanda.
Konon, Masjid Pathok Negara Dongkelan sebagai pusat peradaban dan penyebaran ilmu agama menjadi saksi, tempat dimana Raden Mas Mustahar atau kelak dikenal Pangeran Dipanegara menimba ilmu agama Islam.
Raden Mas Mustahar merupakan putra sulung Sultan Hamengkubuwono III ini sejak kecil, sudah belajar agama di masjid ini dengan tekun. Sebelum akhirnya perang Dipanegara meletus, pada 20 Juli tahun 1825 M.
"Warga Dongkelan sini ikut membantu perang Dipanegara. Waktu itu masjid (Pathok Negara Dongkelan) ini disamping sebagai tempat ibadah juga menjadi tempat rapat untuk menyusun strategi perang dalam menghadapi Belanda," cerita R Burhanuddin.
Menurutnya, ada dua hal yang menjadikan masyarakat Dongkelan yang tergabung dalam Laskar Dipanegara gigih berjuang melawan Belanda. Pertama, karena alasan ideologis, Belanda dianggap sebagai simbol 'Kekafiran'.
Memerangi Belanda adalah Jihad fi sabilillah, dan alasan kedua, karena psikologis, dongkelan merupakan keturunan kyai Syihabuddin yang terkenal sakti mandaraguna dan menjadi tempat Raden Mas Mustahar belajar agama.
Awal mula perang Dipanegara meletus tahun 1825 M, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V. Pada masa perang ini juga, Masjid peninggalan Kyai Syihabuddin dibakar habis oleh tentara Belanda, ketika hendak menangkap Pangeran Dipanegara yang bersembunyi di Goa Selarong, Pajangan, Bantul.
"Pada masa perang, Masjid ini dibakar oleh Belanda, yang tersisa hanya umpak batunya saja. Kemudian oleh masyarakt, Masjid dibangun kembali hanya menggunakan bahan tradisional seadanya. Beratapkan ijuk, mustaka terbuat dari tanah liat, gerabah," urainya.
Kemudian pada pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII, Masjid yang Semoat dibakar itu mulai dibangun kembali atas inisiatif dari KH Muhammad Imam, pejabat Pathok Negara keturunan kyai Syihabuddin bersamaan dengan pembangunan rumah joglo miliknya yang berada di sebelah timur laut masjid.
"Pembangunan ulang masjid, pada tahun 1901 Masehi, menyerupai pada bentuk awalnya sebelum dibakar oleh Belanda, yakni bentuk tajug,"ungkapnya.
"Tahun 1948 dilakukan pembangunan di serambi masjid. Kemudian pada tahun 1972, ada rehab pada bangunan serambi yang awalnya terlalu rendah dibuat setinggi pawestren. Pada lantai masjid yang semula diplester semen merah diganti jadi tegel," imbuh dia.
Ganti nama.
Masjid peninggalan Kyai Syihabuddin ini pernah berganti nama pada tahun 1972 Masehi.
Dasar dari pergantian nama ini berangkat dari instruksi pemerintah Indonesia, dalam hal ini Departemen Agama, yang menghimbau kepada seluruh masjid di Indonesia untuk menggunakan nama atau istilah Arab.
Atas instruksi tersebut, oleh HR Ahmad Komari, cucu KH Muhammad Imam, mengganti nama masjid Pathok negara Dongkelan menjadi masjid Nurul Huda.
Pergantian nama ini berlangsung cukup lama. Sampai pada tahun 2011, tepatnya pada 15 April. Dalam serasehan setelah sholat jumat, antara pengurus takmir masjid dengan pihak keraton Yogyakarta, KRT H Jatiningrat, SH, salah seorang putra GBPH Prabuningrat menganjurkan supaya nama masjid Nurul Huda dihilangkan dan dikembalikan ke nama aslinya yakni masjid pathok negara.
"Bangunan masjid pathok negara ini masih bangunan lama dan asli, termasuk pintu dan jendela. Desain imamah (mihrab) juga masih asli," bebernya.
Penulis berkesempatan mengelilingi bagian belakang masjid. Selayaknya posisi pada masjid kagungan dalem yang lain, dibelakang masjid pathok negara juga terdapat makam. Pada area pesarean ini terdapat makam para tokoh-tokoh agama dan pendiri masjid.
Termasuk makam Kyai Syihabuddin bersama istrinya, Dewi Lungayu, ada di belakang bangunan masjid. Letak makam keduanya berada dalam satu ruangan dengan posisi makam Kyai Syihabuddin di sebelah timur dan Dewi Lungayu berada sebelah baratnya.
Letak posisi makam ini, dikatakan R. Burhanuddin menjadi simbol kedudukan sosial. Mayat orang yang lebih tinggi kasta-nya dalam satu komplek biasanya diletakan di sebelah barat dari mayat ber-kasta lebih rendah dibawahnya.
"Dewi Lungayu dikebumikan di sebelah barat makam suaminya, Kyai Syihabuddin. Karena Dewi Lungayu adalah keturunan Sunan Drajat dan mantan istri Pangeran Mangkubumi (Sultan HB I) yang dihadiahkan kepada Kyai Syihabuddin lantaran berjasa. Sehingga berkasta lebih tinggi," terangnya.
Ketika menjelang Ramadhan, warga masyarakat Dongkelan biasanya akan melakukan tradisi Nyadran, berkunjung ke makam orang tua dan leluhur sebagai tanda bakti dan penghormatan.
Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan, oleh masyarakat, sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.
Penulis :
Ahmad Syarifudin
Penikmat Budaya, seni dan sastra.
Bisa diajak ngobrol di syariefachmad53@gmail.com
*Artikel ini pernah tayang di Media Tribun Jogja, edisi masjid bersejarah pada tanggal 27 Mei 2018.
Komentar
Posting Komentar