Nasib pekerja;
tergadai di negri sendiri
oleh : Acho Notonegoro
oleh : Acho Notonegoro
Dalam sejarahnya May Day lahir dan
tumbuh sebagai perlawanan dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk
meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalismeindustri di awal abad 19 menandakan
perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa
Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan
pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di
tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja.Tidak
terlepas dari serangkaian perjuangan yang di dominasi kaum buruh dunia, kelas
pekerja di indonesia pun mengalami nasib yang tidak kalah mengenaskan.
Sungguh
memang ironi, Ketika mesin ekonomi terus berjalan dengan bahan bakar lelehan
keringat dari ribuan buruh yang terus mengucur tiap harinya. setiap hari pula
kita mendapati hak dan kebebasan dari buruh yang di kerdilkan, jaminan sosial
yang dimandulkan, iming iming kesejahteraan hidup hanya
menjadi mimpi dari jutaan buruh di negeri yang kaya raya ini tetapi apa
dikata, kondisi semacam ini tak lantas membuat pengelola negara sigap ambil
sikap, di negri ini nasib buruh seakan termarjinalkan.
Padahal
aturanya jelas, jika kita mau menengok kembali legitimasi hukum tentang
ketenagakerjaan di indonesia yang tertuang
di UU nomor 13 tahun 2003 sering terabaikan, terbukti dengan masih
banyaknya perusahaan yang secara serentak melakukanPemutusan Hubungan Kerja
(PHK) dan masih berlakukanya sistem kerja outshourching yang merugikan dari
para pekerja itu sendiri. Memang tak bisa di pungkiri nyatanya implementasi
dari point yang tertkandung dalam undang undang nomor 13ini hanya bagus di atas
kertas belaka. Banyak dari kalangan pengamat yang mengatakan bahwa undang
undang ketenagakerjaan di indonesia paling bagus sekawasan asia, tetapi bukti
di lapangan kosong jauh dari harapan ,
ibaratnya kita punya pohon yang rindang subur tetapi tak berbuah itu hanya bisa
di pandang tidak bisa di nikmati oleh masyarakat_percuma.
Undang
undang yang sedemikian bagus dilumpuhkan, Bagaimana ini bisa terjadi? Tidak
bisa lepas ini imbas dari kebijakan oknum penguasa diktator yang berkolaborasi
dengan para investor. Kita tengok inpres Nomor 9 Tahun 2013 tentang kebijakan
penetapan upah minimum dalam rangka keberlangsungan usaha dan peningkatan pekerja
yang di teken President Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 september 2013, yang
mengintruksikan kepada Menko Perekonomian, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian, Kapolri, para
gubernur, dan para bupati/walikota untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Kebijakan Upah Minimum Provinsi
(UMP) harus mempertimbangkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Untuk daerah yang
upah minimumnya masih berada di bawah nilai KHL, kata Presiden, kenaikan
upahnya dibedakan antara industri padat karya dan industri lainnya. Sedangkan
besaran kenaikan upah provinsi /kabupaten/kota yang upah minimumnya telah
mencapai KHL atau lebih, ditetapkan secara bipartit antara pemberi kerja dan
pekerja, ini sama saja melucuti
taring dari undang-undang ketenagakerjaan. Seandainya dari kalangan yang
mengatas namakan wakil rakyat berani untuk bersikap jujur, berani teriak atas
nasib buruh dan beranilepas dari kolaborasi yang di lakukan oleh para pemilik
modal mungkin kesejateraan yang di impikan dari jutaan buruh di negara ini akan
lebih dekat;sedikit terealisasikan. Tapi sekali lagi ini masalah berani atau
tidaknya wakil rakyat untuk melepaskan jabatan tangan dari pemilik perusahaan
yang sudah semakin erat_memprihatinkan.
Hidup buruh
BalasHapus