Langsung ke konten utama


Palu Kematian Demokrasi


Demokrasi mati di tikam induknya sendiri. Mungkin ini satu istilah yang pas untuk mewakili mati surinya demokrasi di negara ini, setelah ketukan palu oleh Priyo Budi Santoso (Partai Golkar) selaku pimpinan sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada pada kamis (25/9) sampai jumat (26/9) dini hari.Menghasilkan satu keputusan Undang-Undang Pilkada yang kontroversial, artinya mengembalikan mekanisme Pemilihan Kepala Daerah di kembalikanoleh DPRD. 

Dengan pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada ini berimplikasi luas pada tatanan pemerintah yang sudah berjalan saat ini, salah satunya bergesekan dengan amanat UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang mengatur kepala daerah di pilih langsung oleh rakyat. UU No 32 tahun 2004 yang di gadang-gadang sebagai kemajuan demokrasi yang mengatur mekanisme pemilukada secara langsung kini telah habis di pangkas, padahal UU No 32 tahun 2004 ini sebagai jawaban dari stigma masyarakat tentang kepala daerah yang hanya condong pada kepentingan DPRD dari pada mengurus kepentingan rakyat. Kerena pemilukada yang dipilih oleh DPRD seperti yang tertuang dalam UU No 22 tahun 1999  memberi kesan ada jarak antara kepala daerah dengan masyarakatnya karena mekanisme pemilihannya yang kurang menjaring aspirasi rakyat.

Penulis membaca setidaknya ada beberapa catatan pemerintah mengapa pemilukada di kembalikan ke DPRD diantaranya, ongkos pemilihan yang terlampau mahal, rawan terjadinya politik uang, dan merebaknya konflik di beberapa daerah pemilu, semua itu memang sering terjadi tetapi tidak lantas semua itu menjadi alasan pembenar untuk memangkas habis kedaulatan rakyat berganti menjadi daulat segelintir para pejabat.

Ketukaan palu Priyo Budi santoso (Baca; pimpinan sidang) memang seperti ketukan kematian bagi iklim demokrasi, ketukan ini bisa di artikan juga sebagai awal kebangkitan rezim oligarki yang akan membayangi setiap pergantian kepala daerah mendatang. Oligarki merupakan bentuk klasik dari pemerintahan yang di kuasai oleh beberapa orang atau segelintir kekuatan yang mempunyai efek dominan. Akar kata Oligarki terbentuk dari dua suku kata yaitu Oligoi yang artinya “segelintir / beberapa” dan arche yang mempunyai makna “pemerintah”.  Jika Undang-Undang pilkada ini sudah di tanda tangani bapak presiden, maka secara sah berlaku menjadi undang-undang, itulah kebangkitan yang nyata bagi rezim oligarki, karena semua mekanisme pemilihan kepala daerah nanti hanya dipertaruhkan kepada segelintir pejabat yang duduk di anggota dewan, imbasnya kandidat yang ingin dipilih menjadi gubernur/bupati/walikota harus berbaik-baik dengan anggota dewan. Begitu juga para anggota DPRD dengan mudah menyusun konsolidasi di suatu tempat untuk mengamankan suara kandidat yang di jagokan.

Ketika palu kematian demokrasi sudah di ketuk, itu awal tanda dari kemunduran tatanan sistem pemerintahan, imbasnya suara rakyat di pasung, hak konstitusi rakyat di renggut paksa yang hanya menyandarkan kepada para dewan, tidak ada jaminan bahwa mekanisme pemilukada lewat DPRD jauh dari money politics ataupun kongkalikong pejabat, justru menurut hemat penulis meknisme pemilukada yang di tunjuk oleh DPRD sangat rentan dari konsolidasi dan rekayasa politik.

Terlepas dari carut marutnya sistem ini, mari bersama kita terus kawal dan berdoa semoga para teknokrat itu kembali menyadari bahwa adanya indonesia bukan warisan neneknya. Indonesia hadir karena kesadaran kebersamaan yang kuat dan kokoh. Maka jangan sampai dimasa yang tidak perlu lagi membuang darah, kebebasan rakyat terenggut sia-sia. Lantaran sikap serakah terus berkembang biak mencari pembenaran hukum.




Ahmad Syarifudin
Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam
UIN Sunan Kalijaga – Yogyakarta.
syariefachmad53@gmail.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Pusat Syiar Islam dan Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda

Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.  Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda  M atahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.  Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.  Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman....

Masjid Agung Giriloyo, Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung

Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.  Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung  Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.  Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.  Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo d ibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah ke...

Membawa Luka

foto:putianggraini.wordpress.com             Keraguan saat memasuki kota gudeg itu tiba-tiba muncul, saat langkah kakiku pertama kali   menapaki peron stasiun Tugu, ada kegamangan dalam batinku yang melonjak-lonjak hingga menghadirkan keraguan. Kutimang-timang kadar kekalutan tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang dikiri dan kananku. Aku putuskan diam sejenak. Beberapa detik berlalu, akhirnya kulangkahkan kaki lagi. Kumantapkan tekad dalam tiap jengkal kaki yang berpacu dengan waktu. Yogyakarta sudah banyak berbenah, kenanganku mengulur ke masa lalu, dimana pertama kali aku menginjakan kaki dikota budaya ini, masih teringat saat lelaki itu menyambutku dibalik pintu keluar  stasiun Tugu dengan senyum keteduhan. Ia memeluk erat tubuh kucelku yang seharian belum mandi dan banyak terbalut debu kereta. Lelaki itu begitu sabar menunggu kedatanganku dari ibu kota. Sikapnya yang sabar, dan tatapan matanya yang teduh, itulah alasan yang m...