Langsung ke konten utama
Masihkah “Jogja Berhati Nyaman”?
oleh : Ahmad Syarifudin

Yogyakarta berhati nyaman. Slogan ini sudah terbiasa terdengar, bahkan seperti nyanyian merdu yang meninabobokan masyarakat kota Yogyakarta, kebanyakan dari masyarakat beranggapan bahwa Yogyakarta masih berada pada zona nyaman-nyaman saja, padahal ketika di telisik, permasalahan di kota pelajar ini sudah makin kompleks. Diantara permasalahan yang begitu kentara adalah pemukiman kumuh dan kemacetan.
Kemacetan yang terjadi di kota-kota besar memang sudah menjadi hal yang wajar dan dianggap lumrah. Wajar terjadi karena memang tingkat volume dan mobilitas warganya sangat tinggi, dan saat ini warga Yogyakarta sudah mulai akrab dengan ‘penyakit’ dari kota besar itu. Secara umum macet itu terjadi dikarenakan ruas jalan yang tersedia tidak lagi mampu menampung volume kendaraan yang membludak memadati jalan tersebut, artinya volume kendaraan tidak sebanding dengan kapasitas jalan.
Menurut data yang terekam di Ditlantas Polda DIY, untuk tahun 2014 saja hanya kurun waktu enam bulan terakhir sampai bulan Juni jumlah sepeda motor, mobil, truk dan bus di DIY bertambah 71.179 unit (Harian Jogja, 17/11) ini sungguh angka yang fantastis, dan angka ini akan terus bertambah bersama dengan lonjakan kendaraan dari luar wilayah Yogyakarta yang berlalu lalang masuk menyumbang kesemrawutan kota.
Tingginya kendaraan yang masuk, dan jumlah pertumbuhan kendaraan di kota yang menjulang pesat, memang sudah saatnya menjadi perhatian serius Pemprov DIY, panjang dan lebar jalan di Yogyakarta sudah tidak sebanding dengan volume kendaraan yang melaju. Artinya, angka pertumbuhan kendaraan yang tinggi tidak lantas di barengi dengan penambahan ruas jalan, walaupun sejatinya ini juga bukan solusi, karena sampai kapanpun penambahan ruas jalan tidak akan sanggup mengejar angka pertumbuhan kendaraan yang makin deras.
Kalau kita lihat data pertumbuhan kendaraan bermotor di Yogyakarta dalam empat tahun terakhir mencapai 122.679 unit/tahun (Harian Jogja, 18/11). Jika melihat data tersebut rasanya membuka peluang lebar kota budaya dan pariwisata ini akan makin ‘sumpek’ seperti kota-kota urban lainnya.  
 Di lain pihak, permasalahan yang tak kalah serius juga mengenai kawasan kumuh, atau yang biasa didominasi dengan pemukiman Rumah Tak Layak Huni (RTLH). Sebagai ibu kota pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kota Yogyakarta memang mampunyai magnet tersendiri bagi banyak masyarakat, banyak warga yang melancong ke kota ini dan akhirnya menetap semi permanen di sepanjang bantaran sungai.
Menurut Data Bappeda Kota Yogyakarta, tercatat ada sebanyak 3.343 RTLH di kota Yogyakarta, sedangkan luas kawasan kumuh berdasarkan hasil pendataan yang di lakukan oleh tim dari UGM yang terjun langsung ke lapangan, mencapai 278,70 hektare atau setara dengan 8 persen dari luasan seluruh wilayah Yogyakarta yang mencapai 32,5 kilometer persegi (Kedaulatan Rakyat, 24/11). Kawasan kumuh tersebut tersebar merata di 13 kecamatan dari 14 kecamatan yang ada di kota Yogyakarta, kebanyakan pemukiman kumuh ini berada di sepanjang bantaran sungai Code, Gajah Wong, Winonngo dan Buntung.
Pemerintah sudah waktunya singsingkan baju dan mulai tanggap untuk menghadapi segala permasalahan yang makin semrawut di hadapi oleh kota ini, salah satu cara alternatif meminimalisir laju pemukiman kumuh, dengan cara pembuatan hunian massal vertikal atau yang biasa diimplementasikan dengan Rusunawa, kemudian pemerintah juga di tuntut membuat regulasi yang jelas tentang dataran yang tidak boleh dijadikan sebagai pemukiman warga,  dengan cara ini setidaknya akan mengurangi terciptanya kawasan-kawasan kumuh berkelanjutan. 
Kemudian, masalah kemacetan, dengan laju pertumbuhan kendaraan yang melesat tajam, memang tidak bisa di hindari, tetapi tidak lantas kemudian pemerintah kota dan provinsi Yogyakarta pasrah dan menutup mata, kini sudah waktunya pemerintah menggalakan masyarakat untuk mengalihkan moda transportasi, dari kendaraan pribadi menuju moda transportasi massa, tentu pembenahan sistem, peremajaan armada dan penambahan jalur sangat di perlukan, sehingga masyarakat merasa dimanjakan dan nyaman menggunakan moda transportasi massa tersebut.
Secara struktur ketatanegaraan, itu memang tugas berat yang harus di hadapi Pemkot bersama Pemprov Yogyakarta dan jajaranya, tetapi tidak lantas kemudian kita sebagai masyarakat berdiam diri dengan semua permasalahan yang terjadi, apalagi sampai menutup aksi untuk berbuat lebih demi tetap terjaga kota Yogyakarta yang berhati nyaman.



 *tulisan ini tercipta tanpa mengurangi rasa hormat penulis atas kota jogjakarta
    penulis peduli dan rasa cinta yang tinggi untuk Jogja yang lebih nyaman. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Pusat Syiar Islam dan Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda

Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.  Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda  M atahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.  Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.  Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman....

Masjid Agung Giriloyo, Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung

Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.  Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung  Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.  Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.  Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo d ibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah ke...

Membawa Luka

foto:putianggraini.wordpress.com             Keraguan saat memasuki kota gudeg itu tiba-tiba muncul, saat langkah kakiku pertama kali   menapaki peron stasiun Tugu, ada kegamangan dalam batinku yang melonjak-lonjak hingga menghadirkan keraguan. Kutimang-timang kadar kekalutan tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang dikiri dan kananku. Aku putuskan diam sejenak. Beberapa detik berlalu, akhirnya kulangkahkan kaki lagi. Kumantapkan tekad dalam tiap jengkal kaki yang berpacu dengan waktu. Yogyakarta sudah banyak berbenah, kenanganku mengulur ke masa lalu, dimana pertama kali aku menginjakan kaki dikota budaya ini, masih teringat saat lelaki itu menyambutku dibalik pintu keluar  stasiun Tugu dengan senyum keteduhan. Ia memeluk erat tubuh kucelku yang seharian belum mandi dan banyak terbalut debu kereta. Lelaki itu begitu sabar menunggu kedatanganku dari ibu kota. Sikapnya yang sabar, dan tatapan matanya yang teduh, itulah alasan yang m...