Langsung ke konten utama

Merangkul Kebhinnekaan



Segala macam bentuk konflik yang membawa atas dasar kepentingan Suku, Agama, Ras dan Antar golongan, itulah yang biasa kita kenal dengan SARA merupakan konsekuensi logis dari format hubungan masyarakat yang tidak harmonis. Dalam hal ini bisa di katakana terjadinya intoleran antar masyarakat yang meliputi suku, agama, ras, atau golongan yang berbeda.
Menurut data resmi sensus penduduk tahun 2010 yang datanya diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa, dengan jumlah penduduk sebanyak itu menempatkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat.  Jumlah penduduk yang sangat  besar, sudah menjadi keniscayaan bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama yang beraneka ragam. Maka bisa di katakan bahwa Indonesia adalah negara yang tercipta di atas tanah kemajemukan.
Indonesia sebagai bangsa majemuk, sudah barang tentu harus menghadapi berbagai macam tantangan yang setiap saat mampu menggerogoti dan mengancam integritas bangsa. Disamping ancaman dari luar, justru ancaman yang paling berbahaya adalah manakala terjadi intoleransi di tengah masyarakat itu sendiri, karna musuh yang akan di hadapi sejatinya adalah saudara-saudara kita setanah dan air yang sama, dan itu tidak akan pernah berhenti sampai tumbuh kesadaran penuh dari masyarakat tentang pentingnya menanamkan nilai-nilai berbangsa dan bernegara dengan menggenggam erat kebhinnekaan dalam kerangka indonesia.
Beberapa pekan lalu kita sama-sama saksikan kericuhan yang di lakukan oleh ormas yang menamakan dirinya sebagai Front Pembela Islam (FPI) menentang naiknya Basuki Cahya Purnama (ahok) menjadi gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang terpilih menjadi President Republik ini. Seharusnya itu tidak perlu terjadi manakala kita sebagai warga negara mempunyai kesadaran penuh tentang hak-hak konstitusional yang sama dimata hukum negara tanpa memandang suku, etnis maupun perbedaan agama.
Salah satu bentuk kesadaran masyarakat dengan menempatkan segala bentuk perbedaan baik Suku, Agama, Ras dan Antar golongan menjadi satu kekuatan yang mampu memperkokoh kebangsaan yang sebenarnya. Perbedaan dari kelompok minoritas tidak harus selalu dikerdilkan dengan menghakimi sesuka hati, tetapi semuanya harus di rangkul menjadi satu kekayaan dalam bingkai kebhinnekaan.
Dalam hal ini peran pemerintah juga sangat menentukan, bagaimana pemerintah di tuntut untuk menciptakan suatu kebijakan yang jelas, bersifat mengikat, yang mampu menjadi daya paksa masyarakat. Sehingga antara kebijakan pemerintah dan kesadaran masyakat menjadi satu pondasi yang kokoh untuk membentengi terjadinya konflik. Pemerintah harus tegas dan jelas, dengan menutup celah yang bisa digunakan oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kekerasan berdalih penyelamatan suku maupun agama.
Semboyan Bhinneka tunggal ika sebagai motto bangsa juga tidak selayaknya menjadi penghias lambang negara belaka. Kalau kita lihat Wikipedia, Bhinneka tunggal ika mengandung makna “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua” satu rangkaian kalimat yang sangat indah. Penjabaran sederhananya, walaupun kita tercipta diatas perbedaan tetapi tetaplah mempunyai satu tujuan yang sama, satu cita-cita yang sma, dengan menciptakan satu keharmonisan hidup. Untuk mewujudkan itu, falsafah ini harus benar-benar dipegang kuat dan dipahami oleh masyarakat, dengan memanifestasikanya dalam bentuk nyata setiap hari hidup berdampingan dan menghargai perbedaan.
Diatas tanah dan air yang kita sepakati bernama Indonesia inilah harusnya kita patut bersyukur di berikan modal luarbiasa berupa keberagaman dan perbedaan dengan terbentang beraneka macam suku, agama, ras, budaya, bahasa, dan etnis yang semuanya bisa menjadi kekayaan luar biasa jika di sikapi dengan arif dan bijaksana. Semangat sekterian harus di hilangkan karena itu hanya mengandung ambisi sesaat dan berkutat di kebenaran relatif, justru yang harus di tegakan adalah semangat ke-indonesia-an dengan merangkul kebhinnekaan menjadi basis kekayaan bangsa.


Ahmad Syarifudin
Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga – Yogyakarta
syariefachmad53@gmail.com

catatan : Tulisan ini pernah dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Pusat Syiar Islam dan Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda

Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.  Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda  M atahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.  Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.  Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman....

Masjid Agung Giriloyo, Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung

Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.  Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung  Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.  Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.  Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo d ibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah ke...

Membawa Luka

foto:putianggraini.wordpress.com             Keraguan saat memasuki kota gudeg itu tiba-tiba muncul, saat langkah kakiku pertama kali   menapaki peron stasiun Tugu, ada kegamangan dalam batinku yang melonjak-lonjak hingga menghadirkan keraguan. Kutimang-timang kadar kekalutan tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang dikiri dan kananku. Aku putuskan diam sejenak. Beberapa detik berlalu, akhirnya kulangkahkan kaki lagi. Kumantapkan tekad dalam tiap jengkal kaki yang berpacu dengan waktu. Yogyakarta sudah banyak berbenah, kenanganku mengulur ke masa lalu, dimana pertama kali aku menginjakan kaki dikota budaya ini, masih teringat saat lelaki itu menyambutku dibalik pintu keluar  stasiun Tugu dengan senyum keteduhan. Ia memeluk erat tubuh kucelku yang seharian belum mandi dan banyak terbalut debu kereta. Lelaki itu begitu sabar menunggu kedatanganku dari ibu kota. Sikapnya yang sabar, dan tatapan matanya yang teduh, itulah alasan yang m...