
sumber foto: terminalduatiga.blogspot.co.id
Sore hari itu cerah, di bawah pohon rindang, aku pandangi gedung mewah nan megah bercat putih yang nampak angkuh memandang tubuhku. Aku seperti anak kerdil yang tak pantas untuk menginjakkan kaki di tempat mewah semacam ini. Hanya di pelataran jauh depan gedung aku berani mengadu, ya di tempat ini, tempat yang menjanjikan kenyamanan bagi siapa saja yang ingin sekedar melepas lelah dari rutinitas kampus ataupun kehidupan yang mulai terasa membosankan.
Semilir
angin mengelus rambutku yang kusut, sedikit menenangkan laju pikirku yang
kalut. Di gedung megah itu,
nampak sedang diadakan hajatan berskala
besar. Hari ini terlihat banyak orang sibuk berlalu lalang, Mobil-mobil mewah
yang mengkilap berjejeran di parkiran. Nampak pula banyak berjejeran kursi dan
meja tamu-tamu VIP. Para tamu mengenakan jas-jas mahal dan kebaya-kebaya mewah
merk butik terkenal.
Sebelum
aku duduk nyaman, tadi aku sempat bertanya kepada seorang tamu undangan yang keluar
gedung sambil membawa semangkuk zupazup.
“Pernikahan
siapakah ini ya Pak? Para undangan yang hadir nampak sekali dari kaum borjuis?”
“Pernikahan anaknya pejabat dengan anak eksportir mebel,” jawab lelaki paruh
baya itu sambil memasukkan sendok kecil kuah zupazup ke mulutnya. Persis
seperti tebakanku, pernikahan akbar sedang dihajatkan, jelas ini bukan acaranya rakyat,tetapi hajatan
seorang pejabat yang menikahkan putrinya dengan seorang lelaki calon pewaris
tahta pengusaha mebel kelas kakap.
Dapat
kulihat juga beberapa orang berseragam putih berlari lari kecil menyiapkan konsumsi. Ada kambing guling, nasi
rawon, bakso daging sapi,nasi goreng, daging rendang dan lain-lain,kelihatannya
sangat merongrong perutku yang belum kuberi makan sejak pagi.
“Ah
peduli apa mereka dengan diriku yang lapar ini”, gumamku,
Sedetik
kemudian persis di depanku, melintas angkuh mobil sport mewah, berwarna hitam
mengkilap dengan beberapa iringan polisi berjejer mengawal, lalu turun seorang
lelaki berjas hitam, dengan rambut tersisir rapi, celana hitam menjadi padanan
yang pas.
Aku asyik
menikmati pemandangan ini, dengan sesekali menghayal, suatu hari nanti aku yang
turun dari mobil sport itu dengan kawalan polisi, disambut teriakan-teriakan
para loyalis, sedang didepanku terhampar lautan manusia yang antusias menunggu
orasi politikku, ah rasanya senang sekali, seakan dunia dalam genggamanku.Aku mulai tersenyum sendiri.
Setiap
hari tak perlu lagi risaukan nasi seperti hari-hariku selama ini, karena setiap
pagi ada pelayan yang mengantarkan makanan, juga ajudan yang setiap hari bahkan
setiap waktu mengawal. Sempurna sekali rasanya hidup seperti itu.
Di
tengah khayalan yang tak kunjung menemui titik bosan, seorang lelaki tua
menghampiriku dan meminta tempat duduk di sampingku, lelaki tua itu tersenyum, dengan
beberapa guratan memenuhi kening dan pipinya, ia memandangiku dengan sorot
matanya menghujam , seperti menusuk mataku dengan pedang yang bermata tajam,matanya
menyala tanda keberanian, berbaju lusuh compang-camping di beberapa bagian pertanda
kesahajaan pemakainya.Lelaki tua itu duduk tenang di sampingku, meletakan
tongkat kayu dengan pandangan lurus kedepan, lalu melepas topi jeraminya.
“Apa
yang kamu khayalkan anak muda”? lelaki tua itu bertanya seakan tahu semua apa yang ada dalam pikiranku
sejak tadi.
“Tidak menghayal apa-apa Pak? Sedang menikmati semilir angin kenikmatan dari Tuhan,
mungkin ini diciptakan untuk mengingatkan kita kepada keagungan Tuhan, bukankah
begitu Pak?”, aku menjawab sekenanya saja dengan sedikit bumbu senyuman,
berharap lelaki tua ini bisa kukelabuhi.
“Dulu
waktu aku seusiamu, berbohong kepada Belanda rasanya segan, tetapi sekarang negeri
ini memang tampak suram, kejujuran sudah menjadi barang mahal yang susah untuk
di temukan. Orang pintar dengan kepintaran ilmunya justru pandai mengelabui
banyak orang. Bau busuk dibalut dengan parfum setebal apapun baunya akan
tercium anak muda, begitu juga kebohongan, dibalut dengan sejuta kata manis
bahkan ditambah dengan senyuman sekalipun, jika itu bohong, akan tampak jelas
pada akhirnya nanti.” lelaki tua itu berkata datar tanpa
ekspresi.
Perkataan
lelaki tua itu seperti tombak yang menghujam keras ke tubuhku dan seketika
mendarat tepat dijantungku, senyum yang tadi sempat mengembang di bibirku kini mengatup
secara perlahan.
Aku
tatap lekat-lekat wajah lelaki tua misterius yang duduk di sampingku, tapi yang
kudapati hanya rahang pipi yang kering, perutnya kempis, tulang rahangnya menonjol di balut kulit yang mulai mengeriput,
sementara pandangannya tetap lurus, berkelana jauh kedepan.
Aku membulatkan tekad dan memberanikan diri
bertanya, “Bapak ini siapa”?
Lelaki
tua itu tak lantas menjawab pertanyaanku, dia merogoh saku celananya, lalu
mengeluarkan bungkusan plastik hitam, ternyata berisi tembakau dan tapir, dia
mencomot tembakau lantas membungkusnya dengan sehelai tapir, aku mengamati
dengan seksama apa yang dilakukan lelaki tua bersahaja itu, mataku terus
mengamati setiap gerak tubuh lelaki tua di sampingku. Dia memijit- mijit tapir
yang berisi tembakau itu sampai berbentuk seperti rokok simbahku.
Sejurus
kemudian, Kulihat dia membakar dan menghisap rokok buatannya
sendiri,tampak nikmat sekali, sementara aku masih menunggu jawaban dari
pertanyaan yang sejak tadi aku lontarkan.
Tanpa
harus aku mengulangi tanyaku, lelaki tua itu akhirnya berkata , “Tampaknya
sejarah yang benar belum sampai kepadamu anak muda, atau mungkin saja sejarah
negeri ini sudah pula dipalsukan dengan kebohongan?”
Aku
tambah tak mengerti lelaki seperti apa yang sedang duduk bercengkerama denganku
saat ini, belum habis rasa heranku, dia melanjutkan perkataanya, “Anak muda,
waktu takkan pernah menunggu dan memintamu berbuat lebih banyak
untuk hidupmu, agamamu dan bangsamu, tetapi kamu sendiri yang akan menjemput
waktu itu.Kapanpun dan dimanapun, manfaatkanlah waktumu untuk berbuat demi
sesama, bukan untuk nafsu pribadi”.
Terdiam
aku mencerna kalimat yang terlontar dari mulut lelaki tua di sampingku.Sesaat
kebisuan menyandera waktu, beberapa detik kami berdua lalui dengan diam. Hanya
terdengar suara ranting yang bergesekan terhempas angin.
”Selama
ini apa yang kau perbuat untuk bangsamu anak muda?” dia balik bertanya kepadaku.
“Aku
masuk jadi kader pergerakan. Sering kali aku ikut demonstrasi turun di jalan,
menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, sering juga aku memobilisasi
massa untuk aksi di kampus ketika kampus sudah seperti penjara, yang mengekang
kebebasan mahasiswa. Aku juga aktif diskusi, seminar kebangsaan dan aktif nulis
beberapa literasi”, jawabku dengan bangga.
Ku
lihat dia tersenyum, wajahnya cerah dan lanjut bertanya kepadaku. “Apa kamu
yakin anak muda, langkahmu itu murni tidak di landasi atas
dasar kepentingan?”
Aku
tak bisa menjawab, aku tertunduk, aku teringat teman-teman seperjuanganku yang
bertindak atas dasar kepentingan, apalagi mereka yang namanya duduk di dewan mahasiswa, aku teringat bagaimana mereka
melakukan kecurangan-kecurangan saat pemilihan umum mahasiswa, aku teringat
ketika aku mencoblos puluhan surat suara hanya untuk kepentingan partai. Aku
juga mengakui aksi di kampus hanya diracuni dari ambisi deklarasi gerakan
semata. Aku juga membenarkan, ketika diskusi hanya mencari pembenaran yang dibuat sedemikian rupa agar
supaya meyakinkan. Seminar kebangsaanpun kuikuti hanya sebatas
cari hiburan, literasi yang kutulis juga sebatas pencitraan.
Aku semakin tertunduk, melihat hitamnya tanah di bawah kakiku, sehitam
perjuanganku.”
“Itu
baru di level kampus anak muda, itu
saja penuh kebohongan, ketidakjujuran dan ambisi. Bagaimana jadinya negeri ini,
jika di gedung wakil rakyat sana isinya juga demikian? ”kata lelaki tua itu
sambil menepuk-nepuk pundakku, seakan tau apa yang sedang melaju dalam pikiranku.
“Belum
terlambat anak muda, saat ini mulailah bertindak atas dasar kejujuran, bukan
atas ambisi kepentingan. Waktu aku seusiamu, aku punya teman namanya Semaun,
dia pintar dan berani, dia mengajakku bergabung dengan sebuah organisasi, sebagai
perlawanan kepada kolonial dari kaum tertindas, karena kami menyadari betul,
perjuangan harus dimulai dari mereka yang tertindas. Kami juga melakukan
perjuangan dengan mendirikan partai, memobilisasi kaum buruh sebagai kekuatan
untuk menumbangkan tirani. Tapi sayang, justru kami berdua diasingkan, bahkan
Semaun, aku tak tau kabarnya”.
Lelaki tua itu diam beberapa detik seperti menahan marah dan sedih yang tak bisa di luapkan. “Anak muda, lanjutnya,…
“apa
yang kau kerjakan saat ini memang jauh dari harapan rakyat, aku tahu kamu dikepung
oleh intervensi kekuatan yang tumbuh subur mengepung langkahmu,
kulihat juga kau amat susah untuk menggerakan teman-temanmu yang sepaham, langkahmu
juga sudah terkontaminasi virus kebencian antar sesama. Belajarlah dari sejarah
gerakan masa lalu, anak muda!” .
Aku
membuang sejuta rasa malu untuk mengangkat mukaku, kulihat dia menghisap rokoknya
dalam-dalam, membuang dan kemudian menginjaknya. Dia pakai topi jerami yang
sedari tadi tergeletak di samping kanan tempat duduknya, mengambil tongkat kayu
lalu berdiri.
Sebelum
pergi dia berucap “Banyak persoalan yang belum selesai di negeri yang kaya ini
anak muda, terutama kemiskinan. Bukankah dinegeri ini si
miskin seperti rokok, dihisap tenaganya, bila habis dan sudah tak berguna,
lantas dibuang dan pada akhirnya diinjak-injak.”
“Aku
titipkan mereka padamu, anak muda”. Kata lelaki tua itu sambil melangkahkan
kakinya meninggalkanku.
Sontak
aku berdiri dan berteriak, “Siapa namamu Bapak tua.?
“Orang
biasa memanggilku, Datuk Ibrahim...,” jawabannya terdengar lirih di telingaku,
Seketika
semilir angin yang tadi nyaman, sekarang menampar keras wajahku, aku hanya bisa
diam terpaku melihat punggung lelaki tua itu melangkah pergi dan akhirnya
menghilang tanpa meninggalkan jejak di balik tikungan.
Sementara
aku, terdiam lama dengan seribu bahasa yang tak bisa diungkap dengan kata,
“Mungkinkah dia Tan Malaka”,batinku membisik. “Apakah benar dia Tan Malaka, tokoh
revolusioner yang selama ini hilang di tikam waktu dan tak ada seorang pun yang
tahu dimana dia sekarang berada?” Aku melangkah dengan rasa tak percaya dan
penuh tanda tanya yang terus meracuni pikiranku. sekian!
cerpen 2014
cerpen 2014
Catatan:
Ide cerita dari Eko Prasetyo dalam buku ‘Penguasa Menindas Rakyat. .
inget pakde,
BalasHapus