Langsung ke konten utama

Miskin Keyakinan (Sebuah Cerpen)

Aku tergeragap, tubuhku menggigil, keringat dingin seketika menguasai semua pori tubuh, peluh bercucuran dari dahi yang lesuh jatuh diatas ketakutan, saat itu bisa ku rasakan degup jantungku berdetak diatas ambang kewajaran, gemetar semua urat dan otot, tenggorokan terasa kering dan rasa haus yang luar biasa menyandera kerongkongan, untuk beberapa menit cemas, waswas dan takut menguasai persendian tubuhku.   
Aku coba terus menekan gempuran badai jiwa yang terus melonjak-lonjak dalam diri, seketika bayangan gambar sisi kelam hidupku memenuhi isi otak, bayangan dosa-dosa silih berganti terus bermunculan, kepala tiba-tiba pening.  Aku memeluk erat lututku dan membisu.
Ruangan ini gelap, yang bisa ku lihat hanya bayang-bayang dari percikan cahaya halilintar dari balik jendela kamar, ya..!!, di luar hujan gerimis masih mengusap tanah, mengganti gersang dengan wajah basah, sementara suara petir masih merongrong, memekakan gendang telinga, suaranya membawa takut menjadi kalut.

            kesadaranku berangsur pulih, ingatan membawa tanganku untuk menemukan letak korek api, setelah perjuangan cukup panjang, bertempur antara cemas dan takut, meraba-raba setiap sudut ruangan gelap, dan aku berhasil menemukan korek api di bawah meja tempat biasa menulis, tangan semakin gemetar. Aku mencoba membuat cahaya.
sepercik cahaya dari korek api memanduku menemukan jam yang terus bergerak membuat waktu, dan kudapati angka 1.15 dini hari bertengger gagah.

---

Malam itu  kejenuhan terus menguasai waktu, berulang kali ku coba pejamkan mata tetapi tak menemukan kompromi, hati begitu resah, jangan tanya alasan kerena memang malam itu aku tidak menemukan jawabanya, aku beranjak dari kasur usang dan menyambar jaket yang tergantung di balik pintu kamar, malam itu ku jalan keliling keramaian kota, niatku sekedar mencari hiburan dan melihat kesibukan, ya aku suka melihat kesibukan manusia. Berjalan aku di sepanjang titik nol kota yang jadi titik pusat keramaian manusia.

            Di bawah bayang-bayang temaram lampu kota yang redup, untuk pertama kalinya aku melihat seorang pengemis yang sangat tua, berpakaian kumal, celana hitam sobek bawahnya, kemeja dengan kancing atasnya terbuka, sehingga mataku dengan leluasa bisa melihat otot dan tulang iga menonjol di dadanya dengan jelas.
Raut wajahnya tirus, urat wajah yang tegang membuat dia terlihat semakin tua, terlihat beberapa lembar rambut yang menghias dagu menandakan kesahajaan, ia megenakan kopiah yang lusuh dan berdebu, tetapi alisnya tebal dan sorot matanya tajam,  kulitnya legam sehitam kopi yang biasa ku nikmati setiap pagi. Melihat itu hatiku merasa iba, pada titik ini aku merasa teramat kasihan kepadanya.
 Lelaki tua itu duduk bersandar pada pagar pembatas taman di tengah kota, di depanya jalan terhampar tempat pejalan kaki, aku duduk mengamati setiap geraknya dari seberang jalan,. 
Aku lihat sesekali dia menawarkan jasa, merapalkan doa-doa bagi pejalan kaki yang lewat, uang yang didapat tak seberapa, mungkin keikhlasan dari yang empunya hajat..

Dengan nada sedikit sinis aku bergumam dalam hati “apa mungkin doa pak tua seperti itu diterima, Tuhan?

            Aku sama sekali tak meminta jawaban dari pertanyaan yang ku gantungkan dalam hati tadi, tetapi tak beberapa lama datang suara lembut berbisik di seberang telinga kananku, aku celingukan, memastikan kanan dan kiri tak ada orang yang mendengar celotehanku tadi, karena aku juga yakin celoteh tadi hanya aku gumamkan dalam hati, aku tak tau suara apa itu, malaikat yang sengaja turun dari alam malakut atau mungkin saja jin tomang yang sedang meggoda pemuda yang kurang iman sepertiku, tapi yang jelas, suara itu ada dan terdengar nyaring menyentuh gendang telinga.

suaranya kira-kira seperti ini....

“ya, doanya diterima anak muda, karena dia berdoa tak pernah meminta untuk dirinya sendiri, tetapi untuk mereka yang membutuhkan. Sebab itu, doa yang ia panjatkat teramat ringan, cepat melesat naik menembus langit, seperti uap yang melayang dari samudra kehidupan. Ia memang seorang faqir, tapi ia telah mencapai derajat sakinah, dan harus kau tahu anak muda, dialah yang sesungguhnya merasa kasihan kepadamu, ”.

Sampai pada kalimat ini suara itu menghilang, angin berlalu dengan lembut mengusap wajahku, beberapa saat suara ranting bergesekan masih jelas aku tangkap. Tetapi tiba-tiba keheningan menguasai waktu, seperti memberi aku tempat untuk mengurai kalimat itu, semua diam, senyap...
“Wahai anak muda,... suara itu, suara yang sama, terdengar lagi, aku coba menajamkan pendengaran..
“jika kau telah belajar melihat dengan mata hati, pandangan mata takan pernah mampu menipumu, percayalah....!!
segera beri dia sedekah, semakin sedikit engkau dibebani dengan hartamu, semakin sedikit pula nafsu yang meminta untuk kau puaskan..”
            Suara itu menghilang lagi, aku bergeming, segera aku rogoh setiap kantong dicelanaku, mencari harta yang ku punya saat itu, dan beruntung aku mendapatinya dikantong belakang, sejenak aku timang-timang, sementara mataku masih lurus mengamati lelaki tua itu.
            Waktu terus berganti bersama sepi, ya sepi. Siapa orang yang bisa melawan sepi, sepi adalah cerminan hati yang tertutup keyakinan, selalu berpijak diantara gamang dan ragu, aku terus bergulat dengan perasaan antara percaya dan tak percaya, siapa gerangan pemilik suara itu? Kenapa harus aku yang mendengarnya? Apakah ini balasan dari rasa sinisku? Dan siapakah pak tua yang ada di depan pandangan mataku itu?  Aaarrrrggggh.....!! pertanyaan itu terus membuntuti laju pikirku..

            keyakinan dan kukuhnya hati menjadi kunci, aku berangsur menemukan pemahamanku. Baru kali ini aku menemukan betapa sedikit pemahamanku tentang keyakinan. Aku mangangguk, meyakinkan hatiku dan kemudian berdiri, mulai berjalan mendekati lelaki tua itu untuk menaruh sisa hartaku,
setiap seret langkah kaki ku lalui tertunduk, melihat tanah mulai terkikis langkah,  jarak semakin dekat dan degup jantungku makin berdetak hebat.
            Saat aku membungkuk untuk menaruh beberapa lembar uang kedalam mangkuk yang terbuat dari batuk kelapa, tiba-tiba dia menatapku, sorot matanya menghujam tajam kedalam relung hatiku, mataku dan matanya beradu pandang, aku terkejut sehingga uang itu terjatuh ke tanah bukan ke batok pak tua, saat itu aku merasakan sendi pergelanganku melemah seperti lunglai ringan tak bertenaga, seperti rontok semua tulangku.
ingin rasanya segera ku berpaling dari tatapan mata itu, tetapi tatapan itu seperti menjeratku sampai aku tak mampu berpaling darinya.
            Tatapan itu semakin aneh menembus ingatanku, aku baru melihat raut wajah itu, tapi sungguh, aku merasakan keakraban aneh dalam sorot mata itu, rasanya tak asing dalam memori hidupku, tapi aku juga yakin dan memastikan belum pernah bertemu denganya.

“jalanmu masih panjang, nak..!!
hanya suara itu keluar dari bibir pak tua itu, pelan dan tegas terdengar. Setelah berucap kalimat itu, dia menunduk dan tidak bicara lagi.
aku tersentak kaget, segera ku tinggalkan lelaki tua itu, aku berjalan cepat menembus keramain, berlindung di balik punggung malam.
            Malam itu aku mengasingkan diri dari keramaian kota, bayangan lelaki tua itu membuatku malu atas tubuhku, lelaki tua renta yang kuanggap pengemis faqir yang tidak punya apa-apa kecuali keyakinan pada sang kholiq ternyata orang yang sangat kaya, sementara diriku yang berpakaian baik dan serba berada ternyata dihadapan dia sangat miskin. Miskin hati, miskin iman dan miskin keyakinan.
Saat itu aku sangat takut menjalani hidup ini. Saat itu juga aku mulai menertawakan kedunguanku.

            Sepanjang jalan pulang bayangan lelaki itu belum mau hilang dalam ingatan, bayangan itu masih terus menari memenuhi kepalaku, dalam kamar kecil ukuran 3x 4 meter persegi yang aku sewa perbulan untuk tempatku istirahat,  pikiran tentang lelaki tua itu ikut terbawa masuk. 
Aku hempaskan tubuhku pada sebidang kasur yang telah menipis, lampu kumatikan dan musik mulai mengalun merdu berharap ingatan tentang lelaki tua itu cepat pergi menghilang bersama lagu yang terus berdendang.

            Kamar yang gelap tak memberikanku jarak pandang, gelap-lekat memenuhi rongga kamar, suara dari sound masih mengalunkan lagu-lagu, mata ku pejamkan paksa sampai pelan-pelan lagu terdengar lirih, kesadaranku mulai pudar menghilang secara perlahan..
.Dan beberapa detik kemudian otaku sudah tak mengenali apa-apa, aku melayang dalam ruang kosong.

---
 
            Saatku membuka mata, sejauh mataku memandang yang terlihat hanya hamparan awan putih, aku bingung, aku berlari sekuat yang ku bisa, berharap diujung sana ku temukan jalan tapi sia-sia, semua sama serba putih tanpa dinding pembatas..
            Aku mulai putus asa, beberapa menit aku membisu, ingatan tentang ibuku muncul terbingkai jelas dikepalaku, berputar-putar, lalu ganti bapaku muncul, berputar lagi jadi kakakku, guruku, simbahku, sahabat-sahabatku, teman-temanku, dan sampai semua bayangan orang yang hadir dalam hidupku memanggil-manggilku, awan putih yang kupijak seakan berputar-putar,dan aku melayang terbang, melesat cepat jauh menembus awan tipis sampai pada satu ruangan yang tak pernah aku lihat, semua putih, seperti lautan awan tanpa dinding.
Sampai keputus asaan ini aku mengadu, ‘tuhan..!! dimana aku berada?
seperti biasa aku duduk memeluk lutut dengan kepala tertunduk,..

 saat ku tengadah dikejauhan aku lihat seseorang berjalan mendekat, pelan!, dengan tongkat ditangan kanan. Semakin dekat semakin jelas, dia memakai jubah warna hitam, wajahnya bersih dengan sorban hijau di kepalanya, dia berhenti tepat di depanku, lalu memandangku.
Aku tak berani menatap wajahnya, aku tertunduk, yang kulihat ujung jubah yang tergerai menutupi mata kaki.
“Bangunlah anak muda, jalanmu masih panjang”  kata itu tak asing terdengar ditelingaku, aku seperti sudah sangat akrab dengan suara ini, aku perlahan mulai berani menengadah, dan wajah itu, wajah yang sama, wajah lelaki tua yang kudapati di pinggir jalan sedang tersenyum menatapku.
            Aku bingung dan tak percaya, pertanyaan terus silih berganti menghampiri, siapa dia? Dibalik sorot mata yag tajam itu pemandangan apa yang disaksikan atas diriku? Aku yakin belum pernah mengenalnya tetapi aneh rasanya aku begitu akrab denganya.
Belum sempat ku temukan jawaban dari pertanyaan yang terus terngiang, lelaki tua itu berkata “aku ada didalam dirimu anak muda...
Tetapi sayang. Engkau terlalu sibuk dengan urusan dirimu sendiri, sampai tak memberikan ruang untuk urusan yang lain. teramat kasihan, hatimu sibuk terlena dengan urusan duniawi sehingga hatimu saat ini sangat faqir.
Bukan kekurangan materi yang menyebabkan kemiskinan spiritual, juga bukan doa-doa dan puasa saja. Yang buatmu faqir adalah keterlenaanmu pada pemuasan dirimu sendiri, lekas lepaskanlah hatimu dari belenggu duniawi, lalu tanganmu akan melepaskan keserakahanmu, dan mulailah menggantungkan semua urusan hanya pada-Nya semata.
Aku terdiam tanpa sepatah katapun, aku sungguh seperti di telanjangi keadaan, aku malu pada diriku sendiri, aku pejamkan mata makin dalam tertunduk.

Anak muda,..!! dia melanjutkan kata-katanya dengan suara berwibawa.
seandainya kamu tahu... hati yang merasa tidak punya apa-apa untuk memberi sejatinya adalah hati yang ruhnya menderita, setiap hati manusia punya ruh yang hidup dan bersemayam didalamnya, dan hatimu saat ini faqir, seperti pak tua yang engkau saksikan malam itu, karena pak tua itu adalah cerminan dari hatimu sendiri anak muda,....
Aku tergagap dengan kalimat itu, saat ku buka mata dan tengadah yang kudapati hanya gelap,
peluh membasahi dahi, aku menggigil dan dapat kurasakan degup jantung berdetak diambang kewajaran...

       Sesaat kemudian kesadaranku pulih dan kudapati tubuhku berada dalam kamarku yang gelap, diluar hujan terus mengguyur bumi, sementara suara halilintar terus merobek hati yang kalut,
aku melihat jam dinding menunjuk angka 1.15 dini hari_aku terdiam seorang diri...



___sekian.





Catatan: 
kisah FIKTIF ini terinspirasi dari kalimat yang terlontar dari kawan...

"Hanya ketika kau sudah muak pada kemunafikan dan kebohongan, maka engkau akan melepaskan semua topeng yang menutupi tubuhmu. Hingga engkau akan lepas dan tak peduli dari semua penilaian manusia tentangmu, Saat itulah kau akan menjadi manusia bebas dan berjalan menuju kesejatian diri".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Pusat Syiar Islam dan Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda

Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.  Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda  M atahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.  Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.  Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman....

Masjid Agung Giriloyo, Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung

Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.  Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung  Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.  Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.  Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo d ibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah ke...

Membawa Luka

foto:putianggraini.wordpress.com             Keraguan saat memasuki kota gudeg itu tiba-tiba muncul, saat langkah kakiku pertama kali   menapaki peron stasiun Tugu, ada kegamangan dalam batinku yang melonjak-lonjak hingga menghadirkan keraguan. Kutimang-timang kadar kekalutan tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang dikiri dan kananku. Aku putuskan diam sejenak. Beberapa detik berlalu, akhirnya kulangkahkan kaki lagi. Kumantapkan tekad dalam tiap jengkal kaki yang berpacu dengan waktu. Yogyakarta sudah banyak berbenah, kenanganku mengulur ke masa lalu, dimana pertama kali aku menginjakan kaki dikota budaya ini, masih teringat saat lelaki itu menyambutku dibalik pintu keluar  stasiun Tugu dengan senyum keteduhan. Ia memeluk erat tubuh kucelku yang seharian belum mandi dan banyak terbalut debu kereta. Lelaki itu begitu sabar menunggu kedatanganku dari ibu kota. Sikapnya yang sabar, dan tatapan matanya yang teduh, itulah alasan yang m...