Aku
tergeragap, tubuhku menggigil, keringat dingin seketika menguasai semua pori
tubuh, peluh bercucuran dari dahi yang lesuh jatuh diatas ketakutan, saat itu bisa
ku rasakan degup jantungku berdetak diatas ambang kewajaran, gemetar semua urat
dan otot, tenggorokan terasa kering dan rasa haus yang luar biasa menyandera
kerongkongan, untuk beberapa menit cemas, waswas dan takut menguasai persendian
tubuhku.

Ruangan
ini gelap, yang bisa ku lihat hanya bayang-bayang dari percikan cahaya
halilintar dari balik jendela kamar, ya..!!, di luar hujan gerimis masih
mengusap tanah, mengganti gersang dengan wajah basah, sementara suara petir
masih merongrong, memekakan gendang telinga, suaranya membawa takut menjadi
kalut.
kesadaranku berangsur pulih, ingatan membawa tanganku untuk menemukan letak korek api, setelah perjuangan cukup panjang, bertempur antara cemas dan takut, meraba-raba setiap sudut ruangan gelap, dan aku berhasil menemukan korek api di bawah meja tempat biasa menulis, tangan semakin gemetar. Aku mencoba membuat cahaya.
sepercik cahaya dari korek api memanduku menemukan
jam yang terus bergerak membuat waktu, dan kudapati angka 1.15 dini hari bertengger
gagah.
---
Malam
itu kejenuhan terus menguasai waktu, berulang kali ku coba
pejamkan mata tetapi tak menemukan kompromi, hati begitu resah, jangan tanya
alasan kerena memang malam itu aku tidak menemukan jawabanya, aku beranjak dari
kasur usang dan menyambar jaket yang tergantung di balik pintu kamar, malam itu
ku jalan keliling keramaian kota, niatku sekedar mencari hiburan dan melihat
kesibukan, ya aku suka melihat kesibukan manusia. Berjalan aku di sepanjang
titik nol kota yang jadi titik pusat keramaian manusia.
Di bawah bayang-bayang temaram lampu kota yang redup, untuk pertama kalinya aku melihat seorang pengemis yang sangat tua, berpakaian kumal, celana hitam sobek bawahnya, kemeja dengan kancing atasnya terbuka, sehingga mataku dengan leluasa bisa melihat otot dan tulang iga menonjol di dadanya dengan jelas.
Di bawah bayang-bayang temaram lampu kota yang redup, untuk pertama kalinya aku melihat seorang pengemis yang sangat tua, berpakaian kumal, celana hitam sobek bawahnya, kemeja dengan kancing atasnya terbuka, sehingga mataku dengan leluasa bisa melihat otot dan tulang iga menonjol di dadanya dengan jelas.
Raut
wajahnya tirus, urat wajah yang tegang membuat dia terlihat semakin tua,
terlihat beberapa lembar rambut yang menghias dagu menandakan kesahajaan, ia
megenakan kopiah yang lusuh dan berdebu, tetapi alisnya tebal dan sorot matanya
tajam, kulitnya legam sehitam kopi yang
biasa ku nikmati setiap pagi. Melihat itu hatiku merasa iba, pada titik ini aku
merasa teramat kasihan kepadanya.
Lelaki tua itu duduk bersandar pada pagar
pembatas taman di tengah kota, di depanya jalan terhampar tempat pejalan kaki, aku
duduk mengamati setiap geraknya dari seberang jalan,.
Aku lihat sesekali dia menawarkan
jasa, merapalkan doa-doa bagi pejalan kaki yang lewat, uang yang didapat tak
seberapa, mungkin keikhlasan dari yang empunya hajat..
Dengan nada sedikit sinis aku bergumam dalam hati “apa mungkin doa pak tua seperti itu diterima, Tuhan?
Dengan nada sedikit sinis aku bergumam dalam hati “apa mungkin doa pak tua seperti itu diterima, Tuhan?
Aku sama sekali tak meminta jawaban dari pertanyaan yang ku gantungkan dalam hati tadi, tetapi
tak beberapa lama datang suara lembut berbisik di seberang telinga kananku, aku
celingukan, memastikan kanan dan kiri tak ada orang yang mendengar celotehanku
tadi, karena aku juga yakin celoteh tadi hanya aku gumamkan dalam hati, aku tak
tau suara apa itu, malaikat yang sengaja turun dari alam malakut atau mungkin
saja jin tomang yang sedang meggoda pemuda yang kurang iman sepertiku, tapi yang
jelas, suara itu ada dan terdengar nyaring menyentuh gendang telinga.
suaranya kira-kira seperti ini....
“ya, doanya diterima
anak muda, karena dia berdoa tak pernah meminta untuk dirinya sendiri, tetapi
untuk mereka yang membutuhkan. Sebab itu, doa yang ia panjatkat teramat ringan,
cepat melesat naik menembus langit, seperti uap yang melayang dari samudra
kehidupan. Ia memang seorang faqir, tapi ia telah mencapai derajat sakinah, dan
harus kau tahu anak muda, dialah yang sesungguhnya merasa kasihan kepadamu, ”.
Sampai
pada kalimat ini suara itu menghilang, angin berlalu dengan lembut mengusap
wajahku, beberapa saat suara ranting bergesekan masih jelas aku tangkap. Tetapi
tiba-tiba keheningan menguasai waktu, seperti memberi aku tempat untuk mengurai
kalimat itu, semua diam, senyap...
“Wahai anak muda,... suara itu, suara yang sama,
terdengar lagi, aku coba menajamkan pendengaran..
“jika kau telah belajar melihat dengan mata hati, pandangan mata takan pernah mampu menipumu, percayalah....!!
segera beri dia sedekah, semakin sedikit engkau dibebani dengan hartamu, semakin sedikit pula nafsu yang meminta untuk kau puaskan..”
“jika kau telah belajar melihat dengan mata hati, pandangan mata takan pernah mampu menipumu, percayalah....!!
segera beri dia sedekah, semakin sedikit engkau dibebani dengan hartamu, semakin sedikit pula nafsu yang meminta untuk kau puaskan..”
Suara
itu menghilang lagi, aku bergeming, segera aku rogoh setiap kantong dicelanaku,
mencari harta yang ku punya saat itu, dan beruntung aku mendapatinya dikantong
belakang, sejenak aku timang-timang, sementara mataku masih lurus mengamati
lelaki tua itu.
Waktu
terus berganti bersama sepi, ya sepi. Siapa orang yang bisa melawan sepi, sepi
adalah cerminan hati yang tertutup keyakinan, selalu berpijak diantara gamang
dan ragu, aku terus bergulat dengan perasaan antara percaya dan tak percaya,
siapa gerangan pemilik suara itu? Kenapa harus aku yang mendengarnya? Apakah
ini balasan dari rasa sinisku? Dan siapakah pak tua yang ada di depan pandangan
mataku itu? Aaarrrrggggh.....!! pertanyaan itu terus
membuntuti laju pikirku..
keyakinan dan kukuhnya hati menjadi kunci, aku berangsur menemukan pemahamanku. Baru kali ini aku menemukan betapa sedikit pemahamanku tentang keyakinan. Aku mangangguk, meyakinkan hatiku dan kemudian berdiri, mulai berjalan mendekati lelaki tua itu untuk menaruh sisa hartaku,
setiap seret langkah kaki ku lalui tertunduk, melihat tanah mulai terkikis langkah, jarak semakin dekat dan degup jantungku makin berdetak hebat.
Saat
aku membungkuk untuk menaruh beberapa lembar uang kedalam mangkuk yang terbuat
dari batuk kelapa, tiba-tiba dia menatapku, sorot matanya menghujam tajam
kedalam relung hatiku, mataku dan matanya beradu pandang, aku terkejut sehingga
uang itu terjatuh ke tanah bukan ke batok pak tua, saat itu aku merasakan sendi
pergelanganku melemah seperti lunglai ringan tak bertenaga, seperti rontok semua tulangku.
ingin rasanya segera ku berpaling dari tatapan mata itu, tetapi tatapan itu seperti menjeratku sampai aku tak mampu berpaling darinya.
ingin rasanya segera ku berpaling dari tatapan mata itu, tetapi tatapan itu seperti menjeratku sampai aku tak mampu berpaling darinya.
Tatapan
itu semakin aneh menembus ingatanku, aku baru melihat raut wajah itu, tapi sungguh,
aku merasakan keakraban aneh dalam sorot mata itu, rasanya tak asing dalam
memori hidupku, tapi aku juga yakin dan memastikan belum pernah bertemu denganya.
“jalanmu masih panjang, nak..!!
hanya suara itu keluar dari bibir pak tua itu, pelan dan tegas terdengar. Setelah berucap kalimat itu, dia menunduk dan tidak bicara lagi.
aku tersentak kaget, segera ku tinggalkan lelaki tua itu, aku berjalan cepat menembus keramain, berlindung di balik punggung malam.
hanya suara itu keluar dari bibir pak tua itu, pelan dan tegas terdengar. Setelah berucap kalimat itu, dia menunduk dan tidak bicara lagi.
aku tersentak kaget, segera ku tinggalkan lelaki tua itu, aku berjalan cepat menembus keramain, berlindung di balik punggung malam.
Malam
itu aku mengasingkan diri dari keramaian kota, bayangan lelaki tua itu
membuatku malu atas tubuhku, lelaki tua renta yang kuanggap pengemis faqir yang
tidak punya apa-apa kecuali keyakinan pada sang kholiq ternyata orang yang
sangat kaya, sementara diriku yang berpakaian baik dan serba berada ternyata dihadapan
dia sangat miskin. Miskin hati, miskin iman dan miskin keyakinan.
Saat itu aku sangat
takut menjalani hidup ini. Saat itu juga aku mulai menertawakan kedunguanku.
Sepanjang
jalan pulang bayangan lelaki itu belum mau hilang dalam ingatan, bayangan itu
masih terus menari memenuhi kepalaku, dalam kamar kecil ukuran 3x 4 meter
persegi yang aku sewa perbulan untuk tempatku istirahat, pikiran tentang lelaki tua itu ikut terbawa
masuk.
Aku hempaskan tubuhku pada sebidang kasur yang telah menipis, lampu
kumatikan dan musik mulai mengalun merdu berharap ingatan tentang lelaki tua
itu cepat pergi menghilang bersama lagu yang terus berdendang.
Kamar
yang gelap tak memberikanku jarak pandang, gelap-lekat memenuhi rongga kamar,
suara dari sound masih mengalunkan lagu-lagu, mata ku pejamkan paksa sampai
pelan-pelan lagu terdengar lirih, kesadaranku mulai pudar menghilang secara
perlahan..
.Dan beberapa detik kemudian otaku sudah tak mengenali apa-apa, aku
melayang dalam ruang kosong.
---
Saatku membuka mata, sejauh mataku memandang yang terlihat hanya hamparan awan putih, aku
bingung, aku berlari sekuat yang ku bisa, berharap diujung sana ku temukan jalan
tapi sia-sia, semua sama serba putih tanpa dinding pembatas..
Aku
mulai putus asa, beberapa menit aku membisu, ingatan tentang ibuku muncul
terbingkai jelas dikepalaku, berputar-putar, lalu ganti bapaku muncul, berputar
lagi jadi kakakku, guruku, simbahku, sahabat-sahabatku, teman-temanku, dan sampai
semua bayangan orang yang hadir dalam hidupku memanggil-manggilku, awan putih
yang kupijak seakan berputar-putar,dan aku melayang terbang, melesat cepat jauh
menembus awan tipis sampai pada satu ruangan yang tak pernah aku lihat, semua
putih, seperti lautan awan tanpa dinding.
Sampai keputus asaan ini aku mengadu, ‘tuhan..!! dimana aku berada?
Sampai keputus asaan ini aku mengadu, ‘tuhan..!! dimana aku berada?
seperti biasa aku duduk
memeluk lutut dengan kepala tertunduk,..
saat ku tengadah dikejauhan aku lihat seseorang berjalan mendekat, pelan!, dengan tongkat ditangan kanan. Semakin dekat semakin jelas, dia memakai jubah warna hitam, wajahnya bersih dengan sorban hijau di kepalanya, dia berhenti tepat di depanku, lalu memandangku.
saat ku tengadah dikejauhan aku lihat seseorang berjalan mendekat, pelan!, dengan tongkat ditangan kanan. Semakin dekat semakin jelas, dia memakai jubah warna hitam, wajahnya bersih dengan sorban hijau di kepalanya, dia berhenti tepat di depanku, lalu memandangku.
Aku tak berani menatap wajahnya, aku tertunduk, yang
kulihat ujung jubah yang tergerai menutupi mata kaki.
“Bangunlah anak muda,
jalanmu masih panjang” kata itu tak
asing terdengar ditelingaku, aku seperti sudah sangat akrab dengan suara ini,
aku perlahan mulai berani menengadah, dan wajah itu, wajah yang sama, wajah lelaki
tua yang kudapati di pinggir jalan sedang tersenyum menatapku.
Aku
bingung dan tak percaya, pertanyaan terus silih berganti menghampiri, siapa
dia? Dibalik sorot mata yag tajam itu pemandangan apa yang disaksikan atas
diriku? Aku yakin belum pernah mengenalnya tetapi aneh rasanya aku begitu akrab
denganya.
Belum sempat ku temukan
jawaban dari pertanyaan yang terus terngiang, lelaki tua itu berkata “aku ada
didalam dirimu anak muda...
Tetapi sayang. Engkau
terlalu sibuk dengan urusan dirimu sendiri, sampai tak memberikan ruang untuk
urusan yang lain. teramat kasihan, hatimu sibuk terlena dengan urusan duniawi
sehingga hatimu saat ini sangat faqir.
Bukan kekurangan materi
yang menyebabkan kemiskinan spiritual, juga bukan doa-doa dan puasa saja. Yang
buatmu faqir adalah keterlenaanmu pada pemuasan dirimu sendiri, lekas
lepaskanlah hatimu dari belenggu duniawi, lalu tanganmu akan melepaskan
keserakahanmu, dan mulailah menggantungkan semua urusan hanya pada-Nya semata.
Aku terdiam tanpa
sepatah katapun, aku sungguh seperti di telanjangi keadaan, aku malu pada
diriku sendiri, aku pejamkan mata makin dalam tertunduk.
Anak
muda,..!! dia melanjutkan kata-katanya dengan suara berwibawa.
seandainya kamu tahu... hati yang merasa tidak punya apa-apa untuk memberi sejatinya adalah hati yang ruhnya menderita, setiap hati manusia punya ruh yang hidup dan bersemayam didalamnya, dan hatimu saat ini faqir, seperti pak tua yang engkau saksikan malam itu, karena pak tua itu adalah cerminan dari hatimu sendiri anak muda,....
seandainya kamu tahu... hati yang merasa tidak punya apa-apa untuk memberi sejatinya adalah hati yang ruhnya menderita, setiap hati manusia punya ruh yang hidup dan bersemayam didalamnya, dan hatimu saat ini faqir, seperti pak tua yang engkau saksikan malam itu, karena pak tua itu adalah cerminan dari hatimu sendiri anak muda,....
Aku tergagap dengan
kalimat itu, saat ku buka mata dan tengadah yang kudapati hanya gelap,
peluh membasahi dahi, aku menggigil dan dapat kurasakan degup jantung berdetak diambang kewajaran...
peluh membasahi dahi, aku menggigil dan dapat kurasakan degup jantung berdetak diambang kewajaran...
Sesaat kemudian
kesadaranku pulih dan kudapati tubuhku berada dalam kamarku yang gelap, diluar
hujan terus mengguyur bumi, sementara suara halilintar terus merobek hati yang
kalut,
aku melihat jam dinding
menunjuk angka 1.15 dini hari_aku terdiam seorang diri...___sekian.
Catatan:
kisah FIKTIF ini terinspirasi dari kalimat yang terlontar dari kawan...
"Hanya ketika kau sudah muak pada kemunafikan dan kebohongan, maka engkau akan melepaskan semua topeng yang menutupi tubuhmu. Hingga engkau akan lepas dan tak peduli dari semua penilaian manusia tentangmu, Saat itulah kau akan menjadi manusia bebas dan berjalan menuju kesejatian diri".
Komentar
Posting Komentar