Langsung ke konten utama

Menyelami Kembali Hakikat Kemanusiaan


Judul               : Cerita Pilu Manusia kekinian
Penulis             : Edi AH Iyubenu
Penerbit           : IRCiSoD
Cetakan           : Pertama, Februari 2016
Tebal               : 264 Halaman
ISBN               : 978-602-0806-71-6

Melihat tingkah laku manusia modern saat ini memang terasa memilukan. Orang-orang demikian sibuk dengan pekerjaan, memburu penghasilan, mengeruk saldo, menghitung waktu, memanjat karier, dan ujungnya mabuk kekuasaan. Karena ternyata ukuran kesuksesan hari ini, hanya terletak pada angka-angka dan kemewahan-kemewahan duniawi, yang akhirnya memaksa manusia untuk menjadi budak bagi diri, perut dan birahi.

Diantara kekejian modernisme-rasionalisme ialah menjadikan manusia memandang hidup sukses sebagai saldo, target, strategi dan untung sebanyak-banyaknya. Semuanya diteropong melalui angka kalkulator: apakah menguntungkan: apakah membutuhkan: dan apakah efisien? begitulah yang di tulis Edi AH Iyubenu. Dengan rasa cintanya terhadap manusia, Bung Edi nampaknya ingin menampar manusia kekinian dengan kelembutan. Terbukti dengan bahasa yang ringan dan renyah, bahasa keseharian kita, semua cerita dalam buku ini memberi ruang permenungan bagi kesejatian diri, yang pada ujungnya pembaca dipaksa sepakat untuk menyelami kembali hakikat kemanusiaan.

Setelah mendapatkan materi sebanyak-banyaknya, nyatanya banyak manusia yang tidak bahagia. Karena kebahagiaan ternyata tidak semuanya berasal dari materi, kebahagiana itu ada pada dimensi jiwa, dimensi spiritual dan diri kita sendiri yang harus mengolahnya.

Buku ini mengajak para pembaca untuk sejenak menyingkir dari kesibukan dunia (uzlah) menanggalkan semua belepot dunia demi memberi ruang murni dimensi yang lain untuk tetap hidup dihati manusia. Menampar kebebalan pikiran kita yang terlalu ‘Riuh’ dalam gemerlap dunia. Merenungi kembali jalan ‘pulang’ dengan membawa bekal kerinduan-ketenangan, karena kesadaran diri sejatinya hanya akan muncul jika manusia berada pada titik hening. Tanpa itu semua, manusia akan tenggelam dan mati secara spiritual (batin) sebelum kematin secara klinisnya (wafat).

Manusia modern, yang menafikan nilai-nilai ultim kemanusiaan, seperti tradisi dan agama, pada detik itu pula sebenarnya dia telah gagal menjadi manusia utuh. Bahkan diantara kejayaan-kejayaanya. Adakah yang lebih pilu dari kepiluan gagal menjadi manusia dengan segenap jiwanya? (Hlm. 162)

Hidup ini sungguh tak cukup untuk ditakar dengan kacamata buram modernisme yang berkecenderungan menolak segala yang tidak memberikan keuntungan teknis. Materialisme-logika tidaklah memadahi untuk sepenuhnya menjangkau dimensi jiwa.(Hlm 188). Cara yang paling ampuh untuk menolak itu, adalah dengan membangun lagi puing-puing keruntuhan jiwa, petuah tentang moral, petitih laku dan tradisi-tradisi leluhur yang sempat ‘padam’ harus dihidupkan ulang.

Penulis buku ini rasanya amat mengerti bahwa hakikat kemanusiaan zaman modern sudah mulai ‘redup’ karena manusia jauh dari permenungan, terlalu sibuk dikejar-kejar materi. pada dasarnya, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami kembali hakikat kemanusiaan. Karena tiada yang lebih berharga dan asali selain berjuang untuk menjadi manusia, atau setidaknya menyadari bahwa tubuh ini adalah manusia.

Buku ini bagus, mengingatkan kita untuk kembali menjadi manusia- seperti yang diajarkan multatuli ‘tugas manusia adalah menjadi manusia’, karena hakikat kemanusiana zaman sekarang sudah mulai redup, manusia jauh dari ruang permenungan. Akhirnya, buku ini memang sangat layak untuk dibaca semua kalangan, terutama bagi mereka yang merindu ketenangan, lebih khususnya manusia kekinian yaitu manusia yang hidup dizaman saat ini-termasuk Anda.!


Ahmad Syarifudin
Penikmat Buku



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Pusat Syiar Islam dan Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda

Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.  Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda  M atahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.  Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.  Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman....

Masjid Agung Giriloyo, Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung

Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.  Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung  Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.  Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.  Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo d ibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah ke...

Membawa Luka

foto:putianggraini.wordpress.com             Keraguan saat memasuki kota gudeg itu tiba-tiba muncul, saat langkah kakiku pertama kali   menapaki peron stasiun Tugu, ada kegamangan dalam batinku yang melonjak-lonjak hingga menghadirkan keraguan. Kutimang-timang kadar kekalutan tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang dikiri dan kananku. Aku putuskan diam sejenak. Beberapa detik berlalu, akhirnya kulangkahkan kaki lagi. Kumantapkan tekad dalam tiap jengkal kaki yang berpacu dengan waktu. Yogyakarta sudah banyak berbenah, kenanganku mengulur ke masa lalu, dimana pertama kali aku menginjakan kaki dikota budaya ini, masih teringat saat lelaki itu menyambutku dibalik pintu keluar  stasiun Tugu dengan senyum keteduhan. Ia memeluk erat tubuh kucelku yang seharian belum mandi dan banyak terbalut debu kereta. Lelaki itu begitu sabar menunggu kedatanganku dari ibu kota. Sikapnya yang sabar, dan tatapan matanya yang teduh, itulah alasan yang m...