Langsung ke konten utama

Safira (sebuah cerpen)


 Semenjak Supardi membawa safira pulang dan mengizinkan tinggal dirumahnya, perempuan itu meradang, rumah tangga yang telah dijalani selama tiga tahun terkoyak, manis bahagia yang dulu setiap hari mereka lalui, sekarang berubah menjadi lautan amarah.
 Tiap hari perempuan itu harus membanting minimal satu perabotan rumah tangganya, entah itu piring, gelas, cangkir dan sesekali kadang panci pun harus meloncat keluar dari dapur.
Sebenarnya sih wajar, perempuan mana yang sudi dimadu, apalagi safira cantik, mulus dan menggiurkan. Semua mata lelaki akan terhipnotis dengen kesempurnaanya, termasuk Supardi yang lupa diri ini.
“mau sampai kapan mas, seperti ini terus’? keluh juminten suatu pagi, ketika melihat Supardi sedang asyik berduaan dengan safira diteras rumahnya.
“heh!, kamu diam aja jum, ini urusan laki-laki, mending kamu masuk, urus itu dapur, aku mau sarapan”!. Bentak Supardi, tak kalah garangnya dengan Juminten.
“mbok sampean iku eling mas, jadi laki-laki jangan begitu” Juminten memelas, sambil mengelus dadanya.
“udah aku bilang, jangan campuri urusan laki-laki, kamu sebagai istri terima saja” bentak Supardi kemudian.

Juminten akhirnya mengalah, dia masuk kerumah dengan perasan remuk, hatinya hancur, tetapi dia tak tau harus bagaimana, sebenarnya sebagai istri juminten tak rela melihat kebersamaan yang diperlihatkan suaminya dengan safira yang semakin mesra di tiap pagi.
Apalagi sekarang banyak tetangganya yang sengaja bertandang kerumahnya, hanya alasan untuk menjenguk safira, karena terpengaruh dan tergiur oleh sesumbar suaminya yang mengatakan bahwa safira mulus luar dan dalem,itu membuat batok kepala juminten makin mendidih
“Yu juminten!, kang Supardinya ada”? tanya kang usman suatu hari, tetangga yang jaraknya seratus meter setelah pangkalan ojek deket warunya mbak Mar.
“Tidak ada! Jawab juminten ketus
“Kalau safiranya ada, yu”? susul kang usman kemudian.
“apalagi safira, Tidak Ada”! Bentak juminten dengan mata galak
“aduh, duh! Jangan galak-galak atuh yu, nanti nggak semanis safira”! goda kang usman sambil tersenyum.

 Juminten tak menjawab tapi bola matanya melotot mengarah tajam ke arah kang usman.
Melihat ekspresi juminten yang galakya seperti singa yang kelaparan, seperti siap menelan hidup-hidup. Kang usman segera pamit diri, sambil cengar-cengir seperti orang menang undian.
Juminten makin uring-uringan dibuatnya, supardi lelaki yang di cintainya kini berubah semenjak ada safira. Kurang perhatian dan bahkan sekarang nggak ada waktu buat dirinya. Semua waktu Supardi hanya untuk safira. Juminten merasa tidak ada harganya lagi. Apalagi supardi sering membawa safira ikut ke meja makan, semeja dengan juminten, nalurinya sebagai seorang istri terkoyak,  juminten merasa panas-dingin dibuatnya.
“Aku mau ajak safira jalan-jalan ke pasar, kamu jaga rumah baik-baik”. Berkata Supardi kepada juminten, sehabis mereka makan bersama.
Juminten pasrah, tidak ada lagi yang harus ia perbuat, melarangpun rasanya percuma, suaminya lebih memilih safira dari pada dirinya. Ia harus menelan pil pahit, karena sering ditinggal Supardi-suaminya, yang sekarang waktunya hanya untuk safira, bahkan safira selalu diajaknya kemana-mana, digandeng di tangan dan tak pernah dilepasnya.

Sampai suatu hari juminten protes karena menurutnya Supardi sudah kelewat batas, tidak perhatian lagi kepada dirinya, naluri kewanitaanya berontak, dia tak sanggup jika harus hidup serumah dengan safira. Tapi nampaknya Supardi tidak menaggapinya. Supardi malah asyik mengelus-elus safira.
Akhirnya juminten hanya makan ati, dia lari ke rumah orang tuanya. Kebetulan rumah ibunya tidak jauh, hanya tiga ratus meteran dari rumahnya, letaknya setelah pangkalan ojek, belakng warungnya Mbak Mar persis. Ia merajuk, bercerita panjang kepada ibunya, merasa hidupnya sudah tak ada artinya lagi untuk terus menemani Supardi, yang dulu pernah berjanji sehidup semati.
Begitulah kira-kira, juminten nangis sesenggukan, ibunya yang telah luruh termakan usia hanya mengelus rambut anaknya itu, sambil berkata “sabar!, kowe sing sabar ndhuk”! percaya saja sama suamimu”

Hingga datang suatu pagi, Supardi dengan jantan bertandang ke rumah mertuanya itu, untuk menjemput juminten sang istrinya. Karena supardi merasa tidak salah.
“sayang ayok pulang!” kata Supardi dengan mesra, saat melihat istrinya sedang duduk di depan rumah orang tuanya.
“nggak! Aku nggak mau pulang” jawab juminten manja
Ayook, Lah! Rengek Supardi kemudian.
“aku mau pulang, asalkan safira sudah pergi” tuntut juminten pada suaminya itu.
“iya, safira sudah aku tinggal di pasar, percayalah!” kata Supardi meyakinkan, sambil melihatkan segepok uang pada juminten.
“Beneran”? selidik juminten kurang percaya.
“serius, ini lihat, aku sudah tidak menggenggam safira lagi” jawab Supardi dengan memperlihatkan kedua tanganya.
Akhirnya juminten menghambur memeluk Supardi yang berdiri dihalaman, mereka tak sadar berpelukan diluar rumah, sampai kang usman-tetangganya, menegur..
“aduh, romantisnya..!!  
Mata keduanya langsung menengok ke sumber suara. Yang ternyata kang usman sudah berdiri berada di seberang jalan. Supardi dan juminten terlihat tersipu malu.
“terimaksih ya kang, safiranya bagus sekali, aku suka”! susul kang usman sambil memperlihatkan tangannya yang terlihat menggenggam safira.
“iyaa, rawat safira baik-baik, jangan sampai istrimu merajuk juga” kata Supardi menasehati usman, sambil tersenyum genit memandang istrinya.
kang usman tertawa, “Sebenarnya sih, safira akan aku jual lagi ke kang Badrun. Soalnya kemaren kang badrun nyari batu mulia ini, safira kayaknya cocok dengan selera kang badrun”. Susul kang usman sambil berlalu meninggalkan sepasang kekasih itu.
Sementara itu, Supardi dan juminten melangkah pulang ke rumah sambil bergandengan mesra tanpa safira. Sekian!




oleh:
Ahmad Syarifudin.







Komentar

  1. haha,
    tak kira kisahnya akan mengharu biru seperti kisahku,,
    ternyata batu akik,,,,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Pusat Syiar Islam dan Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda

Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.  Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda  M atahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.  Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.  Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman....

Masjid Agung Giriloyo, Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung

Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.  Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung  Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.  Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.  Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo d ibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah ke...

Membawa Luka

foto:putianggraini.wordpress.com             Keraguan saat memasuki kota gudeg itu tiba-tiba muncul, saat langkah kakiku pertama kali   menapaki peron stasiun Tugu, ada kegamangan dalam batinku yang melonjak-lonjak hingga menghadirkan keraguan. Kutimang-timang kadar kekalutan tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang dikiri dan kananku. Aku putuskan diam sejenak. Beberapa detik berlalu, akhirnya kulangkahkan kaki lagi. Kumantapkan tekad dalam tiap jengkal kaki yang berpacu dengan waktu. Yogyakarta sudah banyak berbenah, kenanganku mengulur ke masa lalu, dimana pertama kali aku menginjakan kaki dikota budaya ini, masih teringat saat lelaki itu menyambutku dibalik pintu keluar  stasiun Tugu dengan senyum keteduhan. Ia memeluk erat tubuh kucelku yang seharian belum mandi dan banyak terbalut debu kereta. Lelaki itu begitu sabar menunggu kedatanganku dari ibu kota. Sikapnya yang sabar, dan tatapan matanya yang teduh, itulah alasan yang m...