Semenjak Supardi
membawa safira pulang dan mengizinkan tinggal dirumahnya, perempuan itu
meradang, rumah tangga yang telah dijalani selama tiga tahun terkoyak, manis
bahagia yang dulu setiap hari mereka lalui, sekarang berubah menjadi lautan
amarah.
Tiap hari perempuan itu harus membanting minimal satu perabotan rumah tangganya, entah itu piring, gelas, cangkir dan sesekali kadang panci pun harus meloncat keluar dari dapur.
Tiap hari perempuan itu harus membanting minimal satu perabotan rumah tangganya, entah itu piring, gelas, cangkir dan sesekali kadang panci pun harus meloncat keluar dari dapur.
Sebenarnya sih wajar,
perempuan mana yang sudi dimadu, apalagi safira cantik, mulus dan menggiurkan.
Semua mata lelaki akan terhipnotis dengen kesempurnaanya, termasuk Supardi yang
lupa diri ini.
“mau sampai kapan mas,
seperti ini terus’? keluh juminten suatu pagi, ketika melihat Supardi sedang
asyik berduaan dengan safira diteras rumahnya.
“heh!, kamu diam aja jum,
ini urusan laki-laki, mending kamu masuk, urus itu dapur, aku mau sarapan”!.
Bentak Supardi, tak kalah garangnya dengan Juminten.
“mbok sampean iku eling mas, jadi laki-laki jangan begitu”
Juminten memelas, sambil mengelus dadanya.
“udah aku bilang,
jangan campuri urusan laki-laki, kamu sebagai istri terima saja” bentak Supardi
kemudian.
Juminten akhirnya
mengalah, dia masuk kerumah dengan perasan remuk, hatinya hancur, tetapi dia
tak tau harus bagaimana, sebenarnya sebagai istri juminten tak rela melihat
kebersamaan yang diperlihatkan suaminya dengan safira yang semakin mesra di tiap
pagi.
Apalagi sekarang banyak
tetangganya yang sengaja bertandang kerumahnya, hanya alasan untuk menjenguk
safira, karena terpengaruh dan tergiur oleh sesumbar suaminya yang mengatakan
bahwa safira mulus luar dan dalem,itu membuat batok kepala juminten makin
mendidih
“Yu juminten!, kang
Supardinya ada”? tanya kang usman suatu hari, tetangga yang jaraknya seratus
meter setelah pangkalan ojek deket warunya mbak Mar.
“Tidak ada! Jawab
juminten ketus
“Kalau safiranya ada,
yu”? susul kang usman kemudian.
“apalagi safira, Tidak
Ada”! Bentak juminten dengan mata galak
“aduh, duh! Jangan
galak-galak atuh yu, nanti nggak semanis safira”! goda kang usman sambil
tersenyum.
Juminten tak menjawab tapi bola matanya
melotot mengarah tajam ke arah kang usman.
Melihat ekspresi juminten
yang galakya seperti singa yang kelaparan, seperti siap menelan hidup-hidup.
Kang usman segera pamit diri, sambil cengar-cengir seperti orang menang undian.
Juminten makin
uring-uringan dibuatnya, supardi lelaki yang di cintainya kini berubah semenjak
ada safira. Kurang perhatian dan bahkan sekarang nggak ada waktu buat dirinya. Semua
waktu Supardi hanya untuk safira. Juminten merasa tidak ada harganya lagi. Apalagi
supardi sering membawa safira ikut ke meja makan, semeja dengan juminten,
nalurinya sebagai seorang istri terkoyak, juminten merasa panas-dingin dibuatnya.
“Aku mau ajak safira
jalan-jalan ke pasar, kamu jaga rumah baik-baik”. Berkata Supardi kepada
juminten, sehabis mereka makan bersama.
Juminten pasrah, tidak
ada lagi yang harus ia perbuat, melarangpun rasanya percuma, suaminya lebih
memilih safira dari pada dirinya. Ia harus menelan pil pahit, karena sering
ditinggal Supardi-suaminya, yang sekarang waktunya hanya untuk safira, bahkan
safira selalu diajaknya kemana-mana, digandeng di tangan dan tak pernah
dilepasnya.
Sampai suatu hari
juminten protes karena menurutnya Supardi sudah kelewat batas, tidak perhatian
lagi kepada dirinya, naluri kewanitaanya berontak, dia tak sanggup jika harus hidup
serumah dengan safira. Tapi nampaknya Supardi tidak menaggapinya. Supardi malah
asyik mengelus-elus safira.
Akhirnya juminten hanya
makan ati, dia lari ke rumah orang tuanya. Kebetulan rumah ibunya tidak jauh,
hanya tiga ratus meteran dari rumahnya, letaknya setelah pangkalan ojek,
belakng warungnya Mbak Mar persis. Ia merajuk, bercerita panjang kepada ibunya,
merasa hidupnya sudah tak ada artinya lagi untuk terus menemani Supardi, yang dulu
pernah berjanji sehidup semati.
Begitulah kira-kira,
juminten nangis sesenggukan, ibunya yang telah luruh termakan usia hanya
mengelus rambut anaknya itu, sambil berkata “sabar!, kowe sing sabar ndhuk”! percaya saja sama suamimu”
Hingga datang suatu
pagi, Supardi dengan jantan bertandang ke rumah mertuanya itu, untuk menjemput
juminten sang istrinya. Karena supardi merasa tidak salah.
“sayang ayok pulang!” kata
Supardi dengan mesra, saat melihat istrinya sedang duduk di depan rumah orang
tuanya.
“nggak! Aku nggak mau
pulang” jawab juminten manja
Ayook, Lah! Rengek Supardi
kemudian.
“aku mau pulang,
asalkan safira sudah pergi” tuntut juminten pada suaminya itu.
“iya, safira sudah aku
tinggal di pasar, percayalah!” kata Supardi meyakinkan, sambil melihatkan
segepok uang pada juminten.
“Beneran”? selidik
juminten kurang percaya.
“serius, ini lihat, aku
sudah tidak menggenggam safira lagi” jawab Supardi dengan memperlihatkan kedua
tanganya.
Akhirnya juminten
menghambur memeluk Supardi yang berdiri dihalaman, mereka tak sadar berpelukan
diluar rumah, sampai kang usman-tetangganya, menegur..
“aduh, romantisnya..!!
Mata keduanya langsung
menengok ke sumber suara. Yang ternyata kang usman sudah berdiri berada di seberang
jalan. Supardi dan juminten terlihat tersipu malu.
“terimaksih ya kang,
safiranya bagus sekali, aku suka”! susul kang usman sambil memperlihatkan tangannya
yang terlihat menggenggam safira.
“iyaa, rawat safira
baik-baik, jangan sampai istrimu merajuk juga” kata Supardi menasehati usman,
sambil tersenyum genit memandang istrinya.
kang usman tertawa, “Sebenarnya
sih, safira akan aku jual lagi ke kang Badrun. Soalnya kemaren kang badrun
nyari batu mulia ini, safira kayaknya cocok dengan selera kang badrun”. Susul
kang usman sambil berlalu meninggalkan sepasang kekasih itu.
Sementara itu, Supardi
dan juminten melangkah pulang ke rumah sambil bergandengan mesra tanpa safira.
Sekian!
oleh:
Ahmad Syarifudin.
Ahmad Syarifudin.
haha,
BalasHapustak kira kisahnya akan mengharu biru seperti kisahku,,
ternyata batu akik,,,,