Langsung ke konten utama

[Tidak Ada] Manusia Gagal Produk

Manusia adalah makhluk yang sempurna, semacam legitimasi-dalam ajaran agama islam itu tak terbantahkan, dan bahkan dalam agama-agama yang lain kita sama-sama sepakat akan hal itu. Tetapi kemudian pertanyaan besar, kenapa kita masih memandang cacat (mohon maaf) manusia yang memiliki keterbatasn khusus, semisal tidak bisa melihat, tidak punya kaki, tidak memiliki tangan dan lain sebagainya. Bukankah dengan menganggap cacat itu secara tidak langsung kita mereduksi kesempurnaan manusia? kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut lelaki yang selalu memegang tongkat di tangannya.

 
Kadang, tanpa disadari ataupun tidak, kita terlalu bangga dengan kesempurnaan dan menganggap saudara-saudara kita yang memiliki keterbatasan dengan label yang macem-maem, termasuk barangkali sebagai manusia yag harus di kesampingkan. Perkenalanku dengan Bapak Setia Adi, telah banyak membuka simpul-simpul kemanusiaanku, beliau adalah seorang Diffabel yang selalu membutuhkan tongkat ketika hendak berjalan. Tetapi kemudian aku melihat bahwa beliau itu manusia, didalam kemanusiaan secara dohirnya.

Selasa siang, di pungkasan bulan september, saat matahari jogja remang-redup, secara pribadi saya ikut dalam gerakan kampanye aksesibilitas peribadatan, gerakan ini untuk mempromosikan bahwa diffabel juga manusia, mereka memiliki hak untuk ibadah, karena Jogja yang terkenal dengan ‘keramahan’ nyatanya masih belum ramah kepada saudara-saudara kita yang memiliki keterbatasan, terutama dalam hal beribadah.

Dengan ketukan nurani yang luar biasa, Pak Setia mengajarkanku bagaimana menghargai manusia, salah satu kalimat yang begitu membekas dihati adalah ketika beliau berucap “Manusia adalah makhluk yang sempurna, tidak ada manusia yang gagal produk” aku menyaksikan betapa bibir beliau bergetar, seperti membawa perasaan yang sangat dalam ketika beliau harus mengucapkan kalimat itu di depan Romo Yohanes Dwi Harsanto saat pertemuan membahas aksesibiltas diffabel di gereja katholik-Kemetiran. Romo santo membalas dengan keheningan nuraninya “Pak Setia seperti utusan dari tuhan yang membuka ruang kebekuan hati kami, untuk menjadi lebih manusiawi”

Kemudian pertemuan itu berlanjut ke semua tempat peribadatan  yang lain, termasuk Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Misi yang dibawa sangat luar biasa, betapa beliau ingin membongkar persepsi kemanusiaan kepada makhluk tuhan yang katanya paling beragama, bahwa Ibadah adalah hak semua manusia, tetapi kemudian kenapa tempat-tempat ibadah seakan lupa dan menutup akses kepada saudara-saudara kita yang berkebutuhan khusus.


Semua itu kemudian baru disadari oleh beberapa pemegang otoritas tertinggi dalam peribadatan, seperti aku menyaksikan pernyataan Pandita muda Toto Tejamono yang mengungkapkan betapa dia mengerti dan sadar dirinya belum sepenuhnya memperhatikan saudara diffabel yang menjadi jamaatnya, padahal Budhis sendiri sangat menganjurkan untuk mengurangi penderitaan semua manusia. Atau saya juga menyaksikan pernyataan Pendeta Yosep Nugroho yang mengatakan dirinya sangat berterimakasih dan merasa tercerahkan dengan adanya gerakan aksesibilitas peribadatan ini.

Lebih lanjut aku juga menyaksikan betapa sangat berterimakasihnya Pengempon Pura Jagadnatha, Budi Sanyoto, saat rombongan berkunjung dan berdiskusi dengannya, sampai pihaknya juga berjanji akan membicarakannya kepada temen-temen di lembaga untuk membangun komitmen kemajuan dalam rangka merangkul saudara-saudaranya yang diffabel. “Jujur, ini membukaakan pintu hati saya ini menjadi gerakan yang sangat mulia” aku Budi dengan rona muka yang cerah.

Penggalan-penggalan kemanusia itu kemudian saya tertarik untuk mengurai lebih lanjut, saya kebetulan sempat ngobrol dengan Ibu Ida Ayu Putu Sujiartani Damayanti, beliau Diffabel sejak usia 3 tahun, setiap hari harus menghabiskan waktunya di atas kursi roda, beliu menceritakan begitu sangat bergembira ketika rumah ibadahnya sudah ramah diffabel, kebetulan beliau beragama Hindu, dia bercerita sejak memakai kursi roda tak pernah lagi bisa beribadah ke Pura, karena terhalang oleh punden berundak yang biasanya menjadi ciri khas Pura.


Tetapi kemudian hari ini dia terlihat sengat berbahagia, karena bisa kembali pergi ke Pura untuk beribadah, karena sekarang Pura Jagadnatha sudah mulai ramah dengan temen-temen Diffabel. “aku bahagia, bisa kembali ke Pura dan nantinya bisa berkenalan dengan orang-orang Bali lainnya” pungkas Ida Ayu sambil tersenyum penuh bahagia.

Sepenggalan perjalanan dengan pejuang kemanusiaan ini membuka mata hati saya, bahwa saudara-saudara kita ternyata menularkan sebuah gagasan yang luar biasa, menyambuk saya untuk mengerti bahwa hidup bukan hanya hidup, tetapi bagaimana hidup itu bisa peduli dan mencintai semua manusia tanpa terkecuali.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Pusat Syiar Islam dan Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda

Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.  Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda  M atahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.  Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.  Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman....

Masjid Agung Giriloyo, Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung

Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.  Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung  Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.  Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.  Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo d ibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah ke...

Membawa Luka

foto:putianggraini.wordpress.com             Keraguan saat memasuki kota gudeg itu tiba-tiba muncul, saat langkah kakiku pertama kali   menapaki peron stasiun Tugu, ada kegamangan dalam batinku yang melonjak-lonjak hingga menghadirkan keraguan. Kutimang-timang kadar kekalutan tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang dikiri dan kananku. Aku putuskan diam sejenak. Beberapa detik berlalu, akhirnya kulangkahkan kaki lagi. Kumantapkan tekad dalam tiap jengkal kaki yang berpacu dengan waktu. Yogyakarta sudah banyak berbenah, kenanganku mengulur ke masa lalu, dimana pertama kali aku menginjakan kaki dikota budaya ini, masih teringat saat lelaki itu menyambutku dibalik pintu keluar  stasiun Tugu dengan senyum keteduhan. Ia memeluk erat tubuh kucelku yang seharian belum mandi dan banyak terbalut debu kereta. Lelaki itu begitu sabar menunggu kedatanganku dari ibu kota. Sikapnya yang sabar, dan tatapan matanya yang teduh, itulah alasan yang m...