Langsung ke konten utama

Belajar dari Manusia dan Semesta.


Di dunia ini, ada banyak sekali ragam warna manusia. Semua hidup dan menghidupi semesta dengan cara pola yang mereka yakini mendatangkan -kesenangan dan kemanfaatan- bagi dirinya ataupun sosialnya.

Ada banyak manusia yang menghabiskan waktunya menyibukan diri dengan pekerjaan, ada juga manusia yang menghabiskan waktu dengan kesenangan dan hobi, dan banyak kiranya manusia yang menghabiskan waktu entah untuk kesibukan -yang dia sendiri- tidak tahu yang disibukannya. Tapi satu yang aku yakini, bahwa mereka ada dan menularkan ilmu, berbaur dengan padatnya bumi, luasnya cakrawala, indahnya langit dan birunya laut.

Aku sendiri tidak tahu, dalam barisan yang mana manusia sepertiku. Yang difahami, aku banyak belajar dari mereka. Seperti kadang aku sendiri seringkali sangat menikmati -kala pagi menyapa- untuk sekedar memperhatikan kesibukan mereka. Saat itu pula aku merasa terbisiki oleh mbah Pram “Manusia harus Belajar menjadi Manusia” Bisikan Pramudya ini seperti menegaskan kepadaku bahwa sifat dasar manusia itu memang meniru, sedari pertama terlontar ke dunia, kita tidak pernah tahu, siapa diri ini? Untuk misi apa dihidupkan ke dunia? Kenapa kita tiba-tiba ada? Lalu kemudian kita mencoba meng-ada kan diri dengan eksistensi meniru manusia lain dengan macam caranya ditentukan oleh kita sendiri.

Memang manusia adalah manusia plagiat. Kecenderungan untuk meniru selalu ada bersemayam dalam dirinya. Tiruan pertama adalah orang-orang yang hadir dalam keluarga, seperti kita akan meniru ketegasan Bapak, kelembutan Ibu dan sesekali meniru juga kemalasan kakak dan kekonyolan adek. Kemudian lebih jauh kita akan meniru tokoh, idola ataupun seseorang yang barangkali kita merasa dia pantas menjadi tiruan.

Kita juga meniru semua gerak dan perilaku manusia hari ini, kita akan dengan senang hati beli handphone yang sedang ngehits, beli baju yang modelnya lagi trendi, dan masih banyak sekali tiruan-tiruan kita pada zaman, disanlah berserakan ilmu Allah di tempatkan. Dengan meniru kita belajar. Walupun tanpa disadari, penggalan ilmu-Nya ada di setiap momen kejadian yang menghinggapi manusia.

Setelah riuh belajar dengan manusia, manusia juga kiranya perlu belajar kepada semesta. pada mereka terhampar ilmu Tuhan yang mengagumkan. bergulung-gulung ombak, birunya laut, tingginya tebing dan sembribitnya angin akan membelai kita pada ke Mahaan-Nya. 


Karena sepenuhnya aku menyadari menjadi manusia adalah tugas, seperti yang didendangkan multatuli bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia. Dan memang kita harus menjadi manusia dengan belajar kepada manusia dan semesta.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Pusat Syiar Islam dan Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda

Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.  Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda  M atahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.  Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.  Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman....

Masjid Agung Giriloyo, Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung

Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.  Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung  Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.  Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.  Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo d ibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah ke...

Membawa Luka

foto:putianggraini.wordpress.com             Keraguan saat memasuki kota gudeg itu tiba-tiba muncul, saat langkah kakiku pertama kali   menapaki peron stasiun Tugu, ada kegamangan dalam batinku yang melonjak-lonjak hingga menghadirkan keraguan. Kutimang-timang kadar kekalutan tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang dikiri dan kananku. Aku putuskan diam sejenak. Beberapa detik berlalu, akhirnya kulangkahkan kaki lagi. Kumantapkan tekad dalam tiap jengkal kaki yang berpacu dengan waktu. Yogyakarta sudah banyak berbenah, kenanganku mengulur ke masa lalu, dimana pertama kali aku menginjakan kaki dikota budaya ini, masih teringat saat lelaki itu menyambutku dibalik pintu keluar  stasiun Tugu dengan senyum keteduhan. Ia memeluk erat tubuh kucelku yang seharian belum mandi dan banyak terbalut debu kereta. Lelaki itu begitu sabar menunggu kedatanganku dari ibu kota. Sikapnya yang sabar, dan tatapan matanya yang teduh, itulah alasan yang m...