Langsung ke konten utama

Dongeng Dunia Cyberspace dan Libido Ekonomi Virtual




(sumber gambar: net)


Perkembangan dunia abad virtual dawasa ini, ternyata berpacu dan bergerak lebih cepat dari apa yang sebelumnya manusia pikirkan. Berbagai realitas sosial yang berkembang dalam sekala global-akibat dari kemajuan teknologi informasi, justru menggiring manusia ke arah zaman akhir modern, yakni zaman dimana manusi terasing dengan sosialnya.
Tanpa disadari, kondisi dunia yang terus terkoneksi serba cepat merancang segala bentuk konsep-konsep sosial kehilangan realitasnya. Kesatuan, integritas, solidaritas, dan bahkan Nasionalisme seakan didengungkan hanya sebatas mitos. Semua itu mengambang dan menjadi dongeng dalam endapan sampah virtual. Kondisi inilah yang kemudian diistilahkan sebagai zaman akhir sosial.
            Akhir dari sosial pada hari ini ditandai dengan transparansi sosial, yakni satu kondisi lenyapnya kategori sosial, batas sosial, hirarki sosial yang sebelumnya terbentuk dan menjadi pondasi bagi masyarakat. Sebagai contoh, kita saksikan hari ini, batas sosial antara dunia anak-anak dengan orang dewasa kini telah pudar dan lenyap di era koneksi cyberporn (tontonan porno), akses internet dan tontonan percintaan secara langsung menumbuhkan logika anak-anak lebih mengenal cinta mehek-mehek jauh sebelum waktunya.
Dunia anak yang dicirikan dengan dunia riang, bermain-gembira, kini telah direnggut paksa dan berganti menjadi dunia suram penuh percintaan. Hal itu diperparah dengan tontonan dan kampanye partai yang massif di media, yang telah menjerumuskan anak-anak desa justru hafal lagu mars parpol daripada lagu seusianya. Miris!
Kegilaan dunia cyber memang dirancang untuk menghilangkan batasan sosial, tak terkecuali hubungan antara kaum proletariat dan borjuis hilang diantara gempuran arena virtualisme konsumsi. Bahkan, kegilaan kondisi ruang cyber ternyata lebih mengerikan dengan hilangnya batasan sosial antara sang penguasa dengan teroris (pembuat teror). Batasan yang memisahkan keduanya kini telah sirna ditangan “virtualisme teroris” yakni sebuah teror yang didesain dan direkayasa oleh penguasa itu sendiri dengan dalih menjaga ketertiban dan merancang ketakutan pada rakyatnya.
Pada akhirnya, dalam dunia cyberspace yang makin menggila, antara kebenaran dan kepalsuan lenyap ditelan virtualitas media dan informasi. Semua orang berlomba memiliki media dan berpacu menebar “kebenaran” (Baca: dianggap benar menurut dirinya)  bahkan tak jarang umbaran itu yang justru memicu terjadinya kebencian dan perpecahan dimasyarakat.
Dari semua kecepataan akses dunia itu, yang sama-sama kita takutkan, benar apa yang menurut Baudrillard dalam buku Baudrillard Live, apa yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah berkembangnya wacana sosial-kebudayaan menuju apa yang dapat disebut sebagai hipermodernitas, yakni kondisi ketika segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana baik ekonomi, seni maupun seksualitas bertumbuh cepat kearah ekstrim. Semua terjadi secara massif dengan diumbarnya segala macam potensi, hal ini justru merancang pada proses ekstrimitas dan percepatan menuju arah kehancuran. Kondisi ini seperti bom waktu yang setiap saat, kapan saja dan tanpa manusia sadari akan meledak. BuuMmm!!
Libido Ekonomi
Semua perubahan dalam era abad 21 ini, tidak pernah lepas dari kerangkeng ekonomi yang merangsang untuk selalu dipuaskan. Libido Ekonomi disini seperti sebuah dunia yang dilingkupi dan dikuasai oleh energi libido, yang lalu lintasnya adalah lalu lintas kesenangan, pertukarannya adalah pertukaran hawa nafsu dan paradigma perkembangannya adalah paradigma kecepatan. Setiap jengkal ruang dalam dunia global kita hari ini disarati akan energii dan getaran candu.
Di ruang terbuka, didalam kamar, dikantor, di mall-mall, di ruang-ruang belajar, di tempat terpencil bahkan di tempat-tempat yang dianggap suci sekalipun energi libido seakan menemukan tempatnya. Dimanapaun kita berpijak, kita tidak pernah aman dan luput dari agresi getaran hawa nafsu. Arus energi libido itu merebak lewat acara-acara televsi, siaran radio, dan jaringan internet yang mengubah, mereduksi dan memproduksi pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, kekerasan, kebrutalan dikemas kemudian disajikan di ruang-ruang private dan dijejalkan dirumah-rumah kita yang semestinya damai.
Dalam buku sebuah dunia yang dilipat, Yasraf Piliang, mengemukakan bahwa dalam logika ekonomi pasar global yang mengalir dan dijejalkan bukan hanya sekadar barang ataupun produk yang ditawarkan, akan tetapi ada energi-energi libido yang sengaja ditularkan dari pasar ke pasar lain, dari mall ke mall lain dan bahkan dari negara ke negara yang lain.
Lihat saja di balik kampanye produk kecantikan, bodylotion, shampoo dan produk-produk lainnya, terselip kesenangan, kegairahan, kecabulan, kemabukan, keterpesonaan diselipkan dalam produk tersebut. Kapitalisme global sekarang ini bukan lagi berkaitan dengan ekspansi kapital ataupun monopoli capitalism, tetapi kini lebih berkaitan dengan ekspansi arus libido dan perkembang biakan arus getaran nafsu.
Jika memang benar demikian, itu sama artinya perputaran ekonomi bebas secara tidak langsung telah melegitimasi perputaran arus pelepasan hawa nafsu secara bebas, ataupun bisa jadi sebaliknya, hawa nafsu menjadi paradigma dari berlangsung dan tercapainya proses-proses ekonomi. Produksi iklan, tayangan televisi tanpa malu-malu lagi menebar aura bagai ketelanjangan dirinya. Eksplorasi tubuh manusia yang dulu dianggap tabu, kini sudah pudar tak tersisa.
Hal inilah yang kemudian secara berlahan menggeser paradigama di masyarakat dan mengubahnya menjadi satu kebudayaan baru, yang pada akhirnya akan terus menggerus kearifan budaya kita sendiri.  Tentu, tanpa kita sadari!
Oleh karena itu, sudah semestinya kita mulai menyadari akan kondisi yang semakin menggila dari akses informasi yang serba canggih dan cepat. Rawat dan genggam erat kearifan budaya lokal dengan mulai mengajarkannya pada anak-anak usia dini. menghidupkan lagi ruang-ruang spiritual, petuah tentang moral kembali lagi diceritakan dan mulai belajar merangkul bukan untuk saling mencaci dan menyalahkan. Maka harmonisasi dan keselaran hidup masih akan terus berjalan dan bisa kita wariskan kepada anak cucu kelak. Semoga!
 

___


Ruang diskusi: syariefachmad53@gmail.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Pusat Syiar Islam dan Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda

Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.  Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda  M atahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.  Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.  Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman....

Masjid Agung Giriloyo, Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung

Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.  Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung  Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.  Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.  Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo d ibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah ke...

Membawa Luka

foto:putianggraini.wordpress.com             Keraguan saat memasuki kota gudeg itu tiba-tiba muncul, saat langkah kakiku pertama kali   menapaki peron stasiun Tugu, ada kegamangan dalam batinku yang melonjak-lonjak hingga menghadirkan keraguan. Kutimang-timang kadar kekalutan tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang dikiri dan kananku. Aku putuskan diam sejenak. Beberapa detik berlalu, akhirnya kulangkahkan kaki lagi. Kumantapkan tekad dalam tiap jengkal kaki yang berpacu dengan waktu. Yogyakarta sudah banyak berbenah, kenanganku mengulur ke masa lalu, dimana pertama kali aku menginjakan kaki dikota budaya ini, masih teringat saat lelaki itu menyambutku dibalik pintu keluar  stasiun Tugu dengan senyum keteduhan. Ia memeluk erat tubuh kucelku yang seharian belum mandi dan banyak terbalut debu kereta. Lelaki itu begitu sabar menunggu kedatanganku dari ibu kota. Sikapnya yang sabar, dan tatapan matanya yang teduh, itulah alasan yang m...