Langsung ke konten utama

Dana Desa, Antara Mimpi Kesejahteraan dan Jebakan Hukum






Sejak mulai diberlakukannya undang-undang No 6/2014 tentang Desa dan bergulirnya kebijakan Dana Desa oleh pemerintah pusat, bak buah simalakama bagi pemerintah tingkat desa. Alih-alih anggaran itu dapat membantu kesejahteraan kehidupan di Desa, justru tak sedikit perangkat desa yang malah berujung pada jeruji besi.
Sejak digelontorkan pertama kali pada tahun 2014, pemerintah pusat melalui APBN tercatat mengalokasikan dana desa sekitar Rp. 20.7 triliun ke tingkat desa, tahun 2015 naik menjadi Rp. 46.9 triliun dan tahun 2017 mencapai Rp. 60 triliun. Selain kucuran dana dari APBN, desa ternyata juga masih mendapat dana dari APBD yang besarnya 10 persen dari dana perimbangan di daeraj itu. Belum lagi pendapatan dari BUMdes dan lainnya.
Nah, dari semua gelontoran ‘dana runtuh’ itu sudah kebayang multiplier effect yang bakalan dirasakan oleh masyarakat desa. Pemerintah desa mungkin saja akan membangun pasar desa, lumbung pangan desa, insfastruktur desa, penguatan UMKM desa, pengelolaan sektor vital seperti pendayagunaan aset wisata desa, dan lain sebagainya. Kebayang Kkehidupan desa akan menggeliat, sektor perekonomian masyarakat desa akan berjalan cepat, dan tentu akan berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat desa yang semakin meningkat.
Namun, semua angan kesejahteraan yang dibayangkan di desa ternyata eh ternyata, hanya menjadi khayalan belaka. Faktanya, Desa hari ini hanya terlihat seperti ‘Gadis Idaman’ yang sangat seksi. Aliran dana yang masuk ke kantong desa-desa ini hanya menjadi jebakan Betmen yang merangsang ‘birahi’ dan menggoda semua elemen baik LSM, pegiat sosial, pengawas dan wartawan berbondong-bondong masuk desa.
Mereka merayu gadis desa dengan buaian manis supaya bisa menyentuh, mencium atau bahkan memilikinya. Dana ini seperti buah simalakama yang memakan banyak korban. Terutama dan paling utama ya, kepala desa. Karena kepala desa mudah dirayu dan tidak tahu bagaimana menyusun laporan keuangan Dana Desa yang begitu “seksi” itu.
Fakta yang tercatat, sejak dimulainya aksi operasi tangkap tangan (OTT) oleh penegak hukum dalam pengawasan dana desa, tercatat sampai tahun 2017 ini sudah ada 215 kepala desa yang tertangkap dan masuk penjara. Operasi ini sejak tahun 2015 melibatkan sedikitnya 2.700 orang penyidik yang disebar untuk penanganan korupsi di daerah.
“Hal ini patut disayangkan, kami tidak ingin para kepala desa semua ditangkap dan dipenjara. Perlu ada pembinaan dari pihak-pihak terkait dalam pengelolaan dana desa menjadi tepat sasaran,” terang Kabareskim Polri, Komjen Ari Dono Sukmanto, seperti dilansir dari Indopos, saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Kompleks Senayan, Jakarta, Selasa (5/9).
Pertaruhan Mental Kepala Desa
Korupsi adalah bagian dari kombinasi laku dan mental, pertama karena ada niat dan kedua, karena memang ada kesempatan. Jika dibiarkan, Dana Desa ini bisa menjadi “sumber Korupsi baru” artinya, ini seperti ladang basah yang sebenarnya adalah jebakan, memaksa semua kepala desa bermain dalam pertaruhan.
Harian kompas mencatat bahwa ada dua penyebab utama kebocoran dana desa. Pertama, karena kurangnya kapasitas penyelenggara pemerintahan desa. Dan kedua, karena minimnya pengawasan dalam peruntukan alokasi dana desa.
Untuk penggunaan dana desa, pemerintah desa setidak-tidaknya harus menyiapkan perencanaan, pengorganisasian serta mengarahkan supaya proyek dan kediatan yang dijalankan menggunakan dana desa berjaan sesuai dengan aturannya. Selian itu, pemerintah desa juga sudah seharusnya mulai mempelajari aturan main pengunaan dana desa, mulai dari aturan hukum sampai petunjuk teknis penggunaan.
Pengadministrasian dan lapora penggunaan dana desa bagi sebagian kepala desa mungkin akan sangat sulit. Sehingga biasanya, kepala desa akan sangat dengan senang hati menyerahkan penyusunan laporan ini kepada pihak lain (Baik itu konsultan, Lsm, maupun aparat pemerintah pada tingkat atasnya). Semua bantuan itu tentu ada efeknya, berupa ‘jatah’ atau ‘fee’. Keakraban inilah yang menimbulkan malapetaka. Kadangkala bukan hanya fee yang diminta, namun acapakali oknum ini juga menawarkan ‘manfaat lain’ yang dapat diperoleh untuk kepentingan bersama.
Inilah pertaruhan Kepala Desa yang sebenarnya. Jika minim pengawasan, sangat mungkin bagi kepala desa untuk menjadikan dana desa ini sebagai ‘kue’ yang bisa dihidangkan diatas meja bersama para kolega-
Pengawasan secara fungsional di daerah, penggunaan dana desa ini sebenarnya diawasi oleh Inspektorat Daerah yang kemudian pengawasn tingkat pertama berada pada Camat masing-masing kecamatan. Di sisi yang lain, pengawasan harusnya juga bisa dari Tim Saber pungli Daerah maupun Kejaksaan Negeri. Namun, dua alat negara ini selalu berdalih akan bekerja jika memang ada laporan.
Nggak kebayang jika pengawasan dilini ini lemah, maka tingkat kebocoran penyelewengan dana desa jelas akan sangat tinggi.
Namun, balik lagi pada pertaruhan mental dan laku kepala desa di masing-masing desa. Karena bicara sulitnya penyusunan laporan keuangan desa, kepala desa sebenarnya tidak ada alasan karena tinggal mempelajari Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) yang luncurkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Siskeudes ini semacam aplikasi yag membantu dalam pengendalian, pengawasan, serta pebaikan supaya output yang diminta regulasi bisa dihasilkan sesuai yang diminta. Ini akan sangat memudahkan bagi kepala desa untuk membuat laporan keuangan dana desa tanpa harus meminta bantuan para kolega.
Oleh karena itu, untuk penggunaan dana desa yang sehat, tidak bisa tidak, pengawasan memang harus ditingkatkan sampai pada lini bawah. Selain dari alat negara, para pemuda desa dan tokoh desa juga seyogyanya ikut andil bagian dalam pengawasan dana desa.  Pemuda Desa sudah waktunya "melek" dengan peduli dan melakukan kontribusi pengawasan nyata pada desa. Dan bagi kepala desa, peningkatan mutu kualitas diri memang sudah semestinya harus ditingkatkan. Kualitas diri untuk TIDAK Korupsi.
Kepala Desa juga harus visioner, memiliki pencapaian untuk kemajuan desa dan tentunya mampu mencegah terjadinya kebocoran dana. Sehingga kesejahteraan yang diharapkan di tingkat desa bukan hanya sebatas ilusi. Tapi nyata adanya-  semoga!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Pusat Syiar Islam dan Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda

Sebagai pusat syiar islam di tapal batas kerajaan, Masjid Pathok Negara Dongkelan saat ini masih berdiri gagah. Aktif digunakan sebagai pusat kemasyarakatan, sosial dan ibadah.  Pusat Perjuangan Laskar Dipanegara Melawan Belanda  M atahari baru lengser dari angka dua belas, siang itu, ketika masyarakat Dongkelan, Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul keluar dari serambi masjid usai menjalankan ibadah.  Masjid yang berada di Dongkelan ini merupakan satu diantara Pathok Negara dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam catatan sejarah, masjid berusia 243 ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat melawan Belanda dalam perang Dipanegara tahun 1825 Masehi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.  Diceritakan oleh Abdi Dalem Kemasjidan, R. Muhammad Burhanudin, Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Keraton Ngayogyakarta, bersamaan ketika pembangunan serambi masjid gedhe Kauman....

Masjid Agung Giriloyo, Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung

Berdiri tenang dibawah Bukit Kabul, Giriloyo, Masjid Agung ini dikelilingi banyak pepohonan rindang yang membuat udara sejuk, tenang dan memberikan nuansa kekhusu'an tersendiri ketika beribadah di Masjid kuno ini.  Rencana Peristirahatan Terakhir Sultan Agung  Masjid Agung Giriloyo merupakan satu diantara masjid tua yang berdiri kokoh di kaki sebuah bukit di komplek pemakaman giriloyo, Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.  Berdirinya masjid dan komplek makam giriloyo ini sangat erat kaitannya dengan Masjid Pajimatan dan komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Usia dari kedua masjid dan pemakaman diperkirakan tak jauh berbeda. Dibangun pada abad 16 Masehi lebih dari 368 tahun silam.  Diceritakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Muhammad Ilham. Komplek pemakaman Giriloyo d ibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung, tepatnya pada kisaran tahun 1632 Masehi. Untuk diketahui, Sultan Agung memerintah ke...

Membawa Luka

foto:putianggraini.wordpress.com             Keraguan saat memasuki kota gudeg itu tiba-tiba muncul, saat langkah kakiku pertama kali   menapaki peron stasiun Tugu, ada kegamangan dalam batinku yang melonjak-lonjak hingga menghadirkan keraguan. Kutimang-timang kadar kekalutan tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang dikiri dan kananku. Aku putuskan diam sejenak. Beberapa detik berlalu, akhirnya kulangkahkan kaki lagi. Kumantapkan tekad dalam tiap jengkal kaki yang berpacu dengan waktu. Yogyakarta sudah banyak berbenah, kenanganku mengulur ke masa lalu, dimana pertama kali aku menginjakan kaki dikota budaya ini, masih teringat saat lelaki itu menyambutku dibalik pintu keluar  stasiun Tugu dengan senyum keteduhan. Ia memeluk erat tubuh kucelku yang seharian belum mandi dan banyak terbalut debu kereta. Lelaki itu begitu sabar menunggu kedatanganku dari ibu kota. Sikapnya yang sabar, dan tatapan matanya yang teduh, itulah alasan yang m...